Hei, kamu pernah mendengar pulau rupat? Sebuah
pulau yang berada di provinsi riau dan merupakan pulau perbatasan Indonesia dan
Malaysia. Dulu sering disebut pulau terluar Indonesia, namun masyarakat
menolaknya karena jika dikatakan terluar berarti tidak termasuk Indonesia.
Rupat ini masuk di dalam kabupaten bengkalis. Kabupaten bengkalis berada di
pulau bengkalis dan untuk menuju kesana dari pulau Rupat dibutuhkan waktu ±5jam
jika menggunakan kapal pompong, ± 3 jam jika menggunakan speedboat. Namun transportasi
tersebut tidak beroperasi setiap hari, hanya di hari-hari tertentu saja.
Pulau Rupat ini terbagi menjadi dua
kecamatan yaitu rupat utara dan rupat. Sebagian besar pulau ini masih dipadati
rimbunan pohon kelapa sawit dan karet. Sehingga wajar jika sebagian besar
penduduknya bermata pencarian sebagai petani karet. Nderes adalah istilah mereka yang berarti menoreh karet. Kebetulan
saya tinggal di Desa Kadur, Rupat Utara. Di desa ini dekat dengan pantai yang
terkenal dengan pasir putihnya. Aspalisasi sudah mulai masuk desa meskipun
belum sepenuhnya, bahkan untuk menuju kecamatan saja harus menempuh jalanan
yang rusak parah. Bayangkan saja, akses ke pusat pemerintahan masih buruk
bagaimana dengan daerah lain.
|
pantai rupat |
Listrik juga belum mengaliri desa ini, genset
menjadi sumber listrik dan hanya berlaku dari pukul 5 sore hingga 12 malam
namun ada juga sampai pukul 7 pagi.
Barang-barang negeri Jiran mulai bertebaran
di desa ini. Makanan, minuman, kebutuhan pokok dan masih banyak lagi. Wajar
saja produk negeri sebrang lebih mudah masuk ke desa ini, jarak yang ditempuh
dari rupat-malaysia hanya 20 menit menggunakan
speedboat sedangkan dari rupat ke daratan sumatra sekitar 2 jam
menggunakan speedboat. Itulah alasan mengapa produk-produk itu duduk manis di
rak para pedagang.
Beberapa nelayan juga menggunakan mata uang
ringgit meskipun tidak semua, hanya di pesisir tertentu saja.
Pulau rupat memiliki potensi alam dan budaya
yang luar biasa. Pantai berpasir putih yang masih perawan, hutan yang rimbun
dan alami, keanekaragaman suku menjadi daya tarik tersendiri. Suku akit adalah
suku asli di Rupat. Suku akit mirip dengan suku China namun warna kulitnya agak
gelap. Mereka banyak bermukim di desa Titi Akar. Suku akit, china, melayu, dan
jawa menyatu dan hidup berdampingan.
Rumah-rumah di desaku sebagian besar adalah
rumah panggung dan jika rumah suku asli, di depan rumah mereka akan kamu dapati
benda mirip kotak pos yang digunakan untuk
tempat sembayang. Jadi mudah sekali membedakan mana rumah suku asli dan
suku melayu. Disini juga banyak ditemui orang jawa karena dulu daerah ini
menjadi tempat rantauan mereka (orang disini tidak suka menyebut transmigrasi
namun rantauan). Sebagian besar mereka bersal dari Pacitan dan Ponorogo, Jawa
Timur.
Jangan harap kamu bisa menemukan tempe di
sini. Tempe jarang sekali masuk di pasar-pasar. Mungkin seminggu sekali baru
ada. Begitu juga daging sapi jadi wajar kalau sulit menemukan bakso. Masyarakat
Rupat paling sering memasak ikan karena kebiasaan mereka mukat (jaring ikan) di
laut. Hasilnya di jual atau dikonsumsi sendiri. Hal yang membuat saya salut
dari mereka adalah kepiawaian mereka mengolah makanan laut tanpa ada rasa amis
sedikitpun.
Kalau kamu pecinta durian, pulau ini tepat
menjadi pilihanmu berkuliner ria. Hampir setiap rumah memiliki pohon durian. Mereka
tidak pernah memetik durian, durian dibiarkan masak dan jatuh sendiri. Soal rasa?
Jangan tanya, enak dan begitu legit. Begitu masuk mulut, daging durian itu
langsung lumer dan meninggalkan rasa manis. Sesudah makan durian, mereka
menuangkan air di tempat durian yang sudah habis kemudian meminumnya, hal ini
dipercaya dapat mengurangi panas dari durian yang dimakan. Percayalah, durian Riau
itu membuatmu menjadi pecandu durian.
Ayolah sekali-kali berkunjung ke pulau yang
eksotis ini, jangan biarkan pulau ini menjadi pulau yang terabaikan karena
letaknya yang berbatasan dengan negara tetangga. Sampai sekarang, Rupat masih mengibarkan
bendera merah putih dan masih mengumandangkan Indonesia Raya. Rupatku,
Indonesiaku J