Hitam
Putih....
Sepertinya
minggu menjadi sebuah ritual hari dimana tidak ada kata buru-buru dikejar
waktu, segalanya santai dan aku tidak perlu mendengar alarm yang terus meraung
setiap tepat adzan subuh berkumandang, aku juga tidak perlu berlari tunggang
langgang hanya untuk duduk sebelum dosen berdiri di depan kelas. Pagi yang
indah dengan tumpukan bantal di atas dan bawah tubuhku, guling di sisi kanan
kiriku. Mirip seorang bayi yang dijaga oleh ibunya agar tidak jatuh. Namun aku
bukan bayi, usiaku sudah hampir seperempat abad dan aku sudah lupa seperti apa
rasanya seorang bayi yang ditimang ibunya. Tidak lagi terpikir tentang masa
kecilku, cepat sekali semuanya sirna seperti pijakan kaki di atas pasir pantai
yang tersapu ombak. Sering kubayangkan, minggu yang tak memburu ini beraromakan
teh yang menyergap hidungku dan memintaku untuk bangun. Pernah juga aku
membayangkan seberkas sinar matahari menerpa wajahku dan hangatnya menjalar ke
seluruh tubuh, sinarnya menyusup dari celah korden yang sengaja dibuka untuk
membangunkanku. Atau bisa saja minggu pagi yang penuh dengan riuhnya
teriakan-teriakan yang bersahutan, entah apa yang diteriakan, yang kutahu aku
segera bangkit dan bersungut-sungut meminta mereka diam agar aku bisa kembali
bersembunyi di balik selimutku yang tebal. Aku rela mengalami satu dari tiga
peristiwa yang kubayangkan meskipun banyak dari teman-temanku yang selalu
menghela nafas ketika itu terjadi pada mereka. Katanya semua itu memuakkan dan
mereka ingin hidup tenang. Aku tidak tahu definisi tenang bagi mereka, jelas! aku
dan mereka mempunyai dua kamus yang berbeda untuk dapat mengartikan kata
tenang. Ada juga alis mereka hendak menyatu, keningnya mengkerut, dan mulutnya
menyinyir ketika mendengarkan peristiwa yang tadi kubayangkan,
“
Menurutku itu kehidupan sempurna.” Ucapku ketika melihat ekspresi mereka.
“
Kamu tidak sakit kan?” telapak tangannya ditempelkan di dahiku kemudian dia
memegang pundakku.
“
Tidak.” Aku menepisnya.
“
Rasanya nyata dan itulah kehidupan.”
Dahinya
semakin terlipat dan dia menggerakkan bola matanya ke atas. Entah apa yang
sedang dipikirkan.
“
Inilah kehidupan.” Sepotong kata terucap dari mulutnya setelah kesekian detik
dia berpikir.
“
Bukan, itulah kehidupan.” Semakin kutegaskan.
“
Lantas dimanakah letak sempurnanya?” dia masih meladeni racauanku.
Sungguh,
ini tidak bohong. Aku hanya meracau namun rupanya dia melayani.
“
Sempurna karena membuatku rindu untuk mengingat.”
Dia
tidak menggubris dan berlalu tanpa kata.
Aku
melihat punggungnya yang hilang di balik pintu.
“
Kamu gila.” Tiba-tiba dia kembali dan melongokkan kepalanya kemudian
benar-benar meninggalkanku.
Lagi-lagi
aku punya definisi berbeda dengannya. Jujur, sebenarnya tidak hanya dengannya
tetapi mereka. Aku tidak tahu dimana mereka membeli kamusnya dan dimana aku menemukan
kamusku. Pokoknya, segalanya berbeda.
Kembali ke hari yang tak ter-buru,
kubuka mataku perlahan. Segalanya masih sama dan selalu sama. Dinding kamar
berwarna putih dan dihiasi wallpapper
bergambar menara eiffel di sudut ruangan, bintang-bintang dari kertas yang tergantung
oleh benang tipis di ternit kamar, sebuah rak buku di depan dipan kasurku-yang
telah sesak karena hampir setiap bulan isi dompetku selalu kukeluarkan di depan
kasir toko buku dan meja belajar kecil berhiaskan tumpukan HVS yang masih saja
berantakan. Benarkan, semuanya masih sama dan tidak berubah sedikitpun. Bahkan
dengungan nyamuk di dekat jendela kamar di pagi hari juga selalu sama, mungkin
kematianlah yang membuatnya tidak berdengung lagi.
Aku
benar-benar tidak ingin beranjak karena tahu bahwa hari ini waktu berjalan dan
menggenggam diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar