Sabtu, 28 Desember 2013

Part 1

Hitam Putih....

Sepertinya minggu menjadi sebuah ritual hari dimana tidak ada kata buru-buru dikejar waktu, segalanya santai dan aku tidak perlu mendengar alarm yang terus meraung setiap tepat adzan subuh berkumandang, aku juga tidak perlu berlari tunggang langgang hanya untuk duduk sebelum dosen berdiri di depan kelas. Pagi yang indah dengan tumpukan bantal di atas dan bawah tubuhku, guling di sisi kanan kiriku. Mirip seorang bayi yang dijaga oleh ibunya agar tidak jatuh. Namun aku bukan bayi, usiaku sudah hampir seperempat abad dan aku sudah lupa seperti apa rasanya seorang bayi yang ditimang ibunya. Tidak lagi terpikir tentang masa kecilku, cepat sekali semuanya sirna seperti pijakan kaki di atas pasir pantai yang tersapu ombak. Sering kubayangkan, minggu yang tak memburu ini beraromakan teh yang menyergap hidungku dan memintaku untuk bangun. Pernah juga aku membayangkan seberkas sinar matahari menerpa wajahku dan hangatnya menjalar ke seluruh tubuh, sinarnya menyusup dari celah korden yang sengaja dibuka untuk membangunkanku. Atau bisa saja minggu pagi yang penuh dengan riuhnya teriakan-teriakan yang bersahutan, entah apa yang diteriakan, yang kutahu aku segera bangkit dan bersungut-sungut meminta mereka diam agar aku bisa kembali bersembunyi di balik selimutku yang tebal. Aku rela mengalami satu dari tiga peristiwa yang kubayangkan meskipun banyak dari teman-temanku yang selalu menghela nafas ketika itu terjadi pada mereka. Katanya semua itu memuakkan dan mereka ingin hidup tenang. Aku tidak tahu definisi tenang bagi mereka, jelas! aku dan mereka mempunyai dua kamus yang berbeda untuk dapat mengartikan kata tenang. Ada juga alis mereka hendak menyatu, keningnya mengkerut, dan mulutnya menyinyir ketika mendengarkan peristiwa yang tadi kubayangkan,
“ Menurutku itu kehidupan sempurna.” Ucapku ketika melihat ekspresi mereka.
“ Kamu tidak sakit kan?” telapak tangannya ditempelkan di dahiku kemudian dia memegang pundakku.
“ Tidak.” Aku menepisnya.
“ Rasanya nyata dan itulah kehidupan.”
Dahinya semakin terlipat dan dia menggerakkan bola matanya ke atas. Entah apa yang sedang dipikirkan.
“ Inilah kehidupan.” Sepotong kata terucap dari mulutnya setelah kesekian detik dia berpikir.
“ Bukan, itulah kehidupan.” Semakin kutegaskan.
“ Lantas dimanakah letak sempurnanya?” dia masih meladeni racauanku.
Sungguh, ini tidak bohong. Aku hanya meracau namun rupanya dia melayani.
“ Sempurna karena membuatku rindu untuk mengingat.”
Dia tidak menggubris dan berlalu tanpa kata.
Aku melihat punggungnya yang hilang di balik pintu.
“ Kamu gila.” Tiba-tiba dia kembali dan melongokkan kepalanya kemudian benar-benar meninggalkanku.
Lagi-lagi aku punya definisi berbeda dengannya. Jujur, sebenarnya tidak hanya dengannya tetapi mereka. Aku tidak tahu dimana mereka membeli kamusnya dan dimana aku menemukan kamusku. Pokoknya, segalanya berbeda.
            Kembali ke hari yang tak ter-buru, kubuka mataku perlahan. Segalanya masih sama dan selalu sama. Dinding kamar berwarna putih dan dihiasi wallpapper bergambar menara eiffel di sudut ruangan, bintang-bintang dari kertas yang tergantung oleh benang tipis di ternit kamar, sebuah rak buku di depan dipan kasurku-yang telah sesak karena hampir setiap bulan isi dompetku selalu kukeluarkan di depan kasir toko buku dan meja belajar kecil berhiaskan tumpukan HVS yang masih saja berantakan. Benarkan, semuanya masih sama dan tidak berubah sedikitpun. Bahkan dengungan nyamuk di dekat jendela kamar di pagi hari juga selalu sama, mungkin kematianlah yang membuatnya tidak berdengung lagi.
Aku benar-benar tidak ingin beranjak karena tahu bahwa hari ini waktu berjalan dan menggenggam diriku.

            Akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mata kembali dan merasakan sebuah mimpi tak lagi berwarna layaknya televisi jaman dulu, hanya hitam dan putih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar