Sabtu, 07 Desember 2013

Hak vs Perempuan





            " Duh kamu jadi perempuan kok malas begitu." Sepotong percakapan yang sering diucapkan dan ditujukan kepada perempuan yang enggan melakukan yang disuruh.

Saya sedikit tergelitik dengan ucapan sejenis itu, bagaimana tidak? tidak perlu membawa gender untuk melabelkan sebuah kemalasan bukan? Bukankah kemalasan itu hadir tanpa memandang gender? Tua, muda, kaya, miskin, laki-laki, perempuan dan siapa saja bukankah memiliki potensi untuk malas? Saya ajukan sebuah pertanyaan, sebesar apakah dampak jika seorang perempuan malas? Apakah nilainya sama dengan seorang laki-laki yang malas? Saya mencoba menjawab dengan asumsi di masyarakat.

“ Oh, tentu beda karena perempuan itu kelak menjaga anak-anaknya. Kalau dia malas bagaimana bisa menumbuhkan generasi yang hebat?”

“ Perempuan itu tidak boleh malas, apa yang dilakukan akan berdampak pada banyak hal. Bayangkan saja jika seorang ibu malas, apa yang akan terjadi? Rumah berantakan, dapur berantakan, suami ikutan malas, anak malas, semua malas.”

Maaf, saya tidak sanggup lagi menulis jawaban asumsi yang beredar di luar sana atas pertanyaan di atas. Hei kaum adam yang hebat, tidak kah kalian merasa ada sebuah ketidakadilan atas asumsi jawaban di atas? Bukankah kelak kalian juga akan ikut andil untuk menjaga anak-anak kalian? Bukankah jika kalian malas juga akan berdampak pada banyak hal? Lantas kenapa masih saja mengatakan bahwa perempuan itu tidak boleh malas?

Saya tidak paham bagaimana dulu sterotipe sejenis ini bisa tumbuh dan menjadi bahan turun temurun. Ya, budayalah yang membentuk. Patriarki sangat melekat pada budaya di hampir semua negara di dunia. Budaya ini menempatkan laki-laki memiliki kekuasaan termasuk kekuasaan atas perempuan. Jaman dahulu perempuan menerima saja dengan labeling bahwa perempuan tempatnya di kasur, sumur, dapur. Haknya atas ranah publik dianggap sesuatu yang menentang budaya patriarki. Barang siapa perempuan yang tidak suka di dapur maka cacatlah dia. Tidak akan dipilih menjadi pasangan hidup, pilihannya : dia akan menjadi perawan tua kemudian mati perlahan atau hanyut dalam budaya dan merelakan haknya terasingkan. Serba salah memang.

Tidak ada yang salah dari sebuah dapur hanya saja kadang labeling ini justru dimanfaatkan kaum laki-laki untuk melakukan penindasan terhadap perempuan. Seorang laki-laki memiliki istri kedua karena istri pertamanya dianggap tidak pecus mengurus urusan dapur. Hanya urusan dapur, seolah-olah itu kesalahan mutlak dan sialnya masyarakat akan menganggap wajar.

“ Jelas suaminya mencari istri muda, lha istri tuanya tidak pecus mengurus dapur.”

Menyedihkan.
Rumah tangganya hanya dibangun dari seonggok dapur.

Penjagaan anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada istri karena suami mencari nafkah. Baikkk, bisa diterima namun kadang bias ini muncul tatkala terjadi masalah pada perkembangan anak.

“ Kamu tidak pecus mengurus anak, selama ini apa saja yang kamu lakukan sampai anak kita terlibat tawuran seperti itu?” bentak suami muda pada istrinya.

Hai para lelaki berhati budiman, jika kamu melakukan itu berarti bentakanmu itu adalah kebodohanmu. Bentakanmu menunjukkan bahwa dia laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan egois. Hanya memikirkan ranah atas konstruk masyarakat yang tidak terlalu penting untuk diterapkan dalam kehidupanmu sendiri. Percayalah kalian juga punya hak atas pembentukan karakter pada anak. Coba resapi.

Saya yakin stereotipe pada laki-laki dan perempuan itu akan terus melekat dan tidak akan berubah jika tidak dikikis perlahan. Sebenarnya stereotipe tidak akan menjadi bias jika ketidakadilan tidak tercipta namun sialnya ketidakadilan itu juga bentukan dari masyarakat, jika hanya menimpa segelintir orang maka tidak akan dianggap bias. Semua butuh bukti nyata dan melibatkan banyak orang. Ironi.

Mulailah segalanya dari diri sendiri.
Refleksikan.

Pahami dan raihlah hakmu
Hargailah dirimu sendiri J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar