Malam ini aku memilih
menyusuri jalan membelah kegelapan.
Hanya berteman bulan purnama yang berwajah
sendu. Kami beradu. Gelap sedang singgah di desaku. Tidak ada cahaya yang
memancar kecuali dari pelita sederhana yang cahayanya terselip diantara dinding
kayu. Beberapa orang memilih duduk di depan rumah untuk sekedar menikmati
semilir angin. Mereka seolah bayangan, sekelebat hitam. Aku sedang menikmati
kesendirian menapak asa. Kini rumah itu tidak lagi menjadi magnet, kutubnya
sudah usang dan minta diasah atau bahkan diganti baru. Ketakutan menyelemur
membasuh rumah sederhana itu. Ingin aku menghentikan langkah dan tetap terpaku
di tengah jalan bermandikan cahaya malam. Namun kesenduan sang bulan
seolah-olah memintaku untuk tetap melangkah dan berlindung di rumah itu.
Melambatkan langkah lantas tidak akan melambatkan laju waktu. Waktu tetaplah
waktu yang seakan memiliki kaki untuk terus berjalan. Hati meronta, rumit
seperti benang kusut yang tak lagi runtut. Sepercik cahaya melambai-lambai
menyambut langkahku, kakiku kaku dan beku. Percuma meronta, karena ini adalah
sebuah realita. Pilihannya membangun asa atau aku akan tersembab dalam luka.
Kuhembuskan nafas dan kutata hati. Riuhnya sudah terdengar dari ujung jalan.
Dekat dan semakin dekat. Pintu terbuka lebar, aku kembali memasuki kutub usang
dan kurelakan melepas kenikmatan kesunyian membelah kegelapan.