"
Duh kamu jadi perempuan kok malas begitu." Sepotong percakapan yang sering
diucapkan dan ditujukan kepada perempuan yang enggan melakukan yang disuruh.
Saya sedikit tergelitik dengan ucapan
sejenis itu, bagaimana tidak? tidak perlu membawa gender untuk melabelkan
sebuah kemalasan bukan? Bukankah kemalasan itu hadir tanpa memandang gender? Tua,
muda, kaya, miskin, laki-laki, perempuan dan siapa saja bukankah memiliki
potensi untuk malas? Saya ajukan sebuah pertanyaan, sebesar apakah dampak jika seorang
perempuan malas? Apakah nilainya sama dengan seorang laki-laki yang malas? Saya
mencoba menjawab dengan asumsi di masyarakat.
“ Oh, tentu beda karena perempuan itu kelak
menjaga anak-anaknya. Kalau dia malas bagaimana bisa menumbuhkan generasi yang
hebat?”
“ Perempuan itu tidak boleh malas, apa yang
dilakukan akan berdampak pada banyak hal. Bayangkan saja jika seorang ibu
malas, apa yang akan terjadi? Rumah berantakan, dapur berantakan, suami ikutan
malas, anak malas, semua malas.”
Maaf, saya tidak sanggup lagi menulis
jawaban asumsi yang beredar di luar sana atas pertanyaan di atas. Hei kaum adam
yang hebat, tidak kah kalian merasa ada sebuah ketidakadilan atas asumsi
jawaban di atas? Bukankah kelak kalian juga akan ikut andil untuk menjaga
anak-anak kalian? Bukankah jika kalian malas juga akan berdampak pada banyak
hal? Lantas kenapa masih saja mengatakan bahwa perempuan itu tidak boleh malas?
Saya tidak paham bagaimana dulu sterotipe sejenis
ini bisa tumbuh dan menjadi bahan turun temurun. Ya, budayalah yang membentuk. Patriarki
sangat melekat pada budaya di hampir semua negara di dunia. Budaya ini
menempatkan laki-laki memiliki kekuasaan termasuk kekuasaan atas perempuan. Jaman
dahulu perempuan menerima saja dengan labeling bahwa perempuan tempatnya di
kasur, sumur, dapur. Haknya atas ranah publik dianggap sesuatu yang menentang
budaya patriarki. Barang siapa perempuan yang tidak suka di dapur maka cacatlah
dia. Tidak akan dipilih menjadi pasangan hidup, pilihannya : dia akan menjadi
perawan tua kemudian mati perlahan atau hanyut dalam budaya dan merelakan
haknya terasingkan. Serba salah memang.
Tidak ada yang salah dari sebuah dapur hanya
saja kadang labeling ini justru dimanfaatkan kaum laki-laki untuk melakukan
penindasan terhadap perempuan. Seorang laki-laki memiliki istri kedua karena
istri pertamanya dianggap tidak pecus mengurus urusan dapur. Hanya urusan
dapur, seolah-olah itu kesalahan mutlak dan sialnya masyarakat akan menganggap
wajar.
“ Jelas suaminya mencari istri muda, lha
istri tuanya tidak pecus mengurus dapur.”
Menyedihkan.
Rumah tangganya hanya dibangun dari seonggok
dapur.
Penjagaan anak-anak diserahkan sepenuhnya
kepada istri karena suami mencari nafkah. Baikkk, bisa diterima namun kadang
bias ini muncul tatkala terjadi masalah pada perkembangan anak.
“ Kamu tidak pecus mengurus anak, selama ini
apa saja yang kamu lakukan sampai anak kita terlibat tawuran seperti itu?”
bentak suami muda pada istrinya.
Hai para lelaki berhati budiman, jika kamu
melakukan itu berarti bentakanmu itu adalah kebodohanmu. Bentakanmu menunjukkan
bahwa dia laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan egois. Hanya memikirkan
ranah atas konstruk masyarakat yang tidak terlalu penting untuk diterapkan
dalam kehidupanmu sendiri. Percayalah kalian juga punya hak atas pembentukan
karakter pada anak. Coba resapi.
Saya yakin stereotipe pada laki-laki dan
perempuan itu akan terus melekat dan tidak akan berubah jika tidak dikikis
perlahan. Sebenarnya stereotipe tidak akan menjadi bias jika ketidakadilan
tidak tercipta namun sialnya ketidakadilan itu juga bentukan dari masyarakat, jika
hanya menimpa segelintir orang maka tidak akan dianggap bias. Semua butuh bukti
nyata dan melibatkan banyak orang. Ironi.
Mulailah segalanya dari diri sendiri.
Refleksikan.
Pahami dan raihlah hakmu
Hargailah dirimu sendiri J