Sabtu, 28 Desember 2013

Part 1

Hitam Putih....

Sepertinya minggu menjadi sebuah ritual hari dimana tidak ada kata buru-buru dikejar waktu, segalanya santai dan aku tidak perlu mendengar alarm yang terus meraung setiap tepat adzan subuh berkumandang, aku juga tidak perlu berlari tunggang langgang hanya untuk duduk sebelum dosen berdiri di depan kelas. Pagi yang indah dengan tumpukan bantal di atas dan bawah tubuhku, guling di sisi kanan kiriku. Mirip seorang bayi yang dijaga oleh ibunya agar tidak jatuh. Namun aku bukan bayi, usiaku sudah hampir seperempat abad dan aku sudah lupa seperti apa rasanya seorang bayi yang ditimang ibunya. Tidak lagi terpikir tentang masa kecilku, cepat sekali semuanya sirna seperti pijakan kaki di atas pasir pantai yang tersapu ombak. Sering kubayangkan, minggu yang tak memburu ini beraromakan teh yang menyergap hidungku dan memintaku untuk bangun. Pernah juga aku membayangkan seberkas sinar matahari menerpa wajahku dan hangatnya menjalar ke seluruh tubuh, sinarnya menyusup dari celah korden yang sengaja dibuka untuk membangunkanku. Atau bisa saja minggu pagi yang penuh dengan riuhnya teriakan-teriakan yang bersahutan, entah apa yang diteriakan, yang kutahu aku segera bangkit dan bersungut-sungut meminta mereka diam agar aku bisa kembali bersembunyi di balik selimutku yang tebal. Aku rela mengalami satu dari tiga peristiwa yang kubayangkan meskipun banyak dari teman-temanku yang selalu menghela nafas ketika itu terjadi pada mereka. Katanya semua itu memuakkan dan mereka ingin hidup tenang. Aku tidak tahu definisi tenang bagi mereka, jelas! aku dan mereka mempunyai dua kamus yang berbeda untuk dapat mengartikan kata tenang. Ada juga alis mereka hendak menyatu, keningnya mengkerut, dan mulutnya menyinyir ketika mendengarkan peristiwa yang tadi kubayangkan,

Senin, 09 Desember 2013

Momok “ Sakit” Di Perbatasan



Mungkin saja ini sebuah wacana yang sudah sering digulirkan media atau sekedar mendengar dari mulut ke mulut. Namun mengalami akan jauh menimbulkan mosi percaya dibandingkan hanya melihat atau mendengar.
Pulau Rupat, pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, terletak di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Memerlukan waktu 7 jam menggunakan travel menuju ke Dumai dan kembali naik speedboat untuk menyebrang ke pulau ini. Frekuensi speedboat dari Dumai hanya satu kali dalam sehari. Karena jauhnya akses menuju Rupat, orang sering menyebut daerah pelosok yang masih tertinggal, meskipun kenyataannya paparan negara tetangga jauh lebih cepat masuk dan terserap oleh masyarakat pulau termasuk urusan kesehatan.
Sarana dan prasarana lengkap tidak akan ditemui di pulau perbatasan ini. Bukan hanya bank namun rumah sakit juga belum diperhatikan keberadaannya di sini. Puskesmas adalah satu-satunya pelayanan kesehatan terdepan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat di Rupat. Letaknya di kecamatan dan rata-rata ditempuh kurang lebih satu jam dari desa manapun di luar pusat kecamatan, oleh karena itu puskesmas pembantu dibangun tersebar di desa-desa lain meskipun pengelolaannya tetap kurang maksimal bahkan ada yang tidak digunakan. Puskesmas-nya hanya menjadi sebuah bangunan yang tak berpenghuni.
Puskesmas induk di kecamatan tergolong cukup baik meskipun fasilitas masih minim termasuk sumber daya manusianya. Sumber daya manusia di bidang kesehatan di puskesmas induk masih rendah, sebagian besar adalah masyarakat asli yang sekolah di luar kemudian mengabdikan diri kembali di kampung asalnya. Misal untuk bagian pelayanan hanya ada satu orang sehingga pemandangan antri di hari kerja bukan sesuatu yang asing. Beberapa tahun terakhir rupanya pemerintah berbaik hati melengkapi sarana puskesmas kecamatan dengan Fasilitas Rawat Inap 24 Jam meskipun masih dalam versi “daerah”. Keberadaan fasilitas ini sangat membantu masyarakat Pulau Rupat yang mendadak sakit dan tidak bisa menunggu speedboat menuju kota untuk berobat. Setidaknya puskesmas tetap menjadi pelayanan primer bagi masyarakat rupat untuk mengatasi masalah kesehatan. Mobil ambulance yang dimiliki puskesmas juga terhitung siaga baik membantu masyarakat yang sakit atau tidak sakit, maklum saja hanya segelintir orang yang memiliki kendaraan roda empat itupun sejenis pick-up mengangkut pasir atau ojol (getah karet). Hampir semua dokter berdomisili di kecamatan, selain jarak yang dekat dengan puskesmas induk, akses menuju kota lebih mudah sehingga pasokan obat bisa terkendali. Beberapa dokter juga membuka praktek pribadi selain mengabdi di puskesmas.

Sabtu, 07 Desember 2013

Hak vs Perempuan





            " Duh kamu jadi perempuan kok malas begitu." Sepotong percakapan yang sering diucapkan dan ditujukan kepada perempuan yang enggan melakukan yang disuruh.

Saya sedikit tergelitik dengan ucapan sejenis itu, bagaimana tidak? tidak perlu membawa gender untuk melabelkan sebuah kemalasan bukan? Bukankah kemalasan itu hadir tanpa memandang gender? Tua, muda, kaya, miskin, laki-laki, perempuan dan siapa saja bukankah memiliki potensi untuk malas? Saya ajukan sebuah pertanyaan, sebesar apakah dampak jika seorang perempuan malas? Apakah nilainya sama dengan seorang laki-laki yang malas? Saya mencoba menjawab dengan asumsi di masyarakat.

“ Oh, tentu beda karena perempuan itu kelak menjaga anak-anaknya. Kalau dia malas bagaimana bisa menumbuhkan generasi yang hebat?”

“ Perempuan itu tidak boleh malas, apa yang dilakukan akan berdampak pada banyak hal. Bayangkan saja jika seorang ibu malas, apa yang akan terjadi? Rumah berantakan, dapur berantakan, suami ikutan malas, anak malas, semua malas.”

Maaf, saya tidak sanggup lagi menulis jawaban asumsi yang beredar di luar sana atas pertanyaan di atas. Hei kaum adam yang hebat, tidak kah kalian merasa ada sebuah ketidakadilan atas asumsi jawaban di atas? Bukankah kelak kalian juga akan ikut andil untuk menjaga anak-anak kalian? Bukankah jika kalian malas juga akan berdampak pada banyak hal? Lantas kenapa masih saja mengatakan bahwa perempuan itu tidak boleh malas?

Saya tidak paham bagaimana dulu sterotipe sejenis ini bisa tumbuh dan menjadi bahan turun temurun. Ya, budayalah yang membentuk. Patriarki sangat melekat pada budaya di hampir semua negara di dunia. Budaya ini menempatkan laki-laki memiliki kekuasaan termasuk kekuasaan atas perempuan. Jaman dahulu perempuan menerima saja dengan labeling bahwa perempuan tempatnya di kasur, sumur, dapur. Haknya atas ranah publik dianggap sesuatu yang menentang budaya patriarki. Barang siapa perempuan yang tidak suka di dapur maka cacatlah dia. Tidak akan dipilih menjadi pasangan hidup, pilihannya : dia akan menjadi perawan tua kemudian mati perlahan atau hanyut dalam budaya dan merelakan haknya terasingkan. Serba salah memang.

Tidak ada yang salah dari sebuah dapur hanya saja kadang labeling ini justru dimanfaatkan kaum laki-laki untuk melakukan penindasan terhadap perempuan. Seorang laki-laki memiliki istri kedua karena istri pertamanya dianggap tidak pecus mengurus urusan dapur. Hanya urusan dapur, seolah-olah itu kesalahan mutlak dan sialnya masyarakat akan menganggap wajar.

“ Jelas suaminya mencari istri muda, lha istri tuanya tidak pecus mengurus dapur.”

Menyedihkan.
Rumah tangganya hanya dibangun dari seonggok dapur.

Penjagaan anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada istri karena suami mencari nafkah. Baikkk, bisa diterima namun kadang bias ini muncul tatkala terjadi masalah pada perkembangan anak.

“ Kamu tidak pecus mengurus anak, selama ini apa saja yang kamu lakukan sampai anak kita terlibat tawuran seperti itu?” bentak suami muda pada istrinya.

Hai para lelaki berhati budiman, jika kamu melakukan itu berarti bentakanmu itu adalah kebodohanmu. Bentakanmu menunjukkan bahwa dia laki-laki yang tidak bertanggungjawab dan egois. Hanya memikirkan ranah atas konstruk masyarakat yang tidak terlalu penting untuk diterapkan dalam kehidupanmu sendiri. Percayalah kalian juga punya hak atas pembentukan karakter pada anak. Coba resapi.

Saya yakin stereotipe pada laki-laki dan perempuan itu akan terus melekat dan tidak akan berubah jika tidak dikikis perlahan. Sebenarnya stereotipe tidak akan menjadi bias jika ketidakadilan tidak tercipta namun sialnya ketidakadilan itu juga bentukan dari masyarakat, jika hanya menimpa segelintir orang maka tidak akan dianggap bias. Semua butuh bukti nyata dan melibatkan banyak orang. Ironi.

Mulailah segalanya dari diri sendiri.
Refleksikan.

Pahami dan raihlah hakmu
Hargailah dirimu sendiri J