Minggu, 10 Agustus 2014

Keluarlah Dari Cermin

Lelaki Batu,

Aku tidak pernah memilih ini di bawah alam sadarku, semua begitu cepat sampai aku tidak tahu hal apa yang sedang aku jalani. Sampai pada satu titik bahwa lelaki batu itu telah menyematkan batu di hatiku, hingga hatiku berat untuk melalang buana karenanya.

Raga,
Hanya menjadi bayang di dalam cermin yang mampu dilihat tanpa pernah tersentuh. Bahkan ujung jari yang dipertemukanpun tidak mampu menggerakan sensor indra perabaku. Bukan dalam waktu singkat, namun berhari hari sampai berbulan-bulan. Kadang memilih lebih baik tidak ada cermin untuk melihat pantulannya, namun cermin, satu-satunya lah yang sanggup mempertemukan kita. Ah, kita memang cermin. Aku tersenyum, kamu tersenyum. Aku menangis, kamu menangis dan begitu pula yang lainnya. Cukup adil bukan? Dan tentu itu selalu membuatku mengabarkan bahwa kamu selalu ada meski raga tak ada.

Mimpi,
Selalu ada kutub magnet yang berlawanan setiap membicarakan ini denganmu. Saling menarik dan mengikat. Ada semacam percikan yang membuat api semakin membara. Seperti ada tumpukan batako yang siap dilekatkan untuk membangun sebuah rumah. Sejenis nyawa yang merasuki sebuah robot yang selama ini hanya menjadi pesuruh majikannya. Pembicaraan ini juga tidak pernah luput disaat kita terikat pada sebuah gelombang yang mengudara dan hanya ber-output sebuah suara. Ah, aku selalu tersenyum setiap membayangkan itu

Jarak
Aku ingat, kamu pernah menghitung berapa kilo jarak kita. Lagi-lagi itu membuatku geli, konyol! Sempat saja memikirkan hitungan jarak yang tanpa dihitungpun sudah terbayang betapa jauhnya. Tunggu, aku pernah berkhayal kita mengukur jarak dengan jengkal kemudian kita kelelahan dan menyerahkan tubuh kita pada alam, semesta tertawa dan berbaik hati, mengirimkan sahabatnya angin untuk menyepoikan dan menguapkan peluh kita, kemudian semesta membuka tirainya. Tercengang! Rupanya dalam kelelahan, kita telah sampai di surga, tempat kita menautkan mimpi hendak kesana. Indah bukan.

Ah, rasanya aku tak sanggup lagi menuliskan apa-apa tentang kamu. Ayo keluarlah dari cermin. Atau bisikan padaku mantra apa yang harus aku rapalkan agar kamu keluar dari cermin itu.


Kamis, 03 Juli 2014

Surat Terbuka Untuk Bapak


Bapak,
Waktu begitu cepat, banyak hal yang terjadi setelah engkau pulang dan tak kembali. Geli sebenarnya mengingat bahwa engkau tak akan menginjakkan kaki di rumah surga yang terakhir kau cat sembari bersiul. Aku, iya aku. Sekarang pindah domisili. Maaf ya Pak, bukan tidak sayang ibu dan keluarga tetapi ada pilihan yang pada akhirnya demi mereka. Kerjaannya menyenangkan (sekali), tentu kau akan suka mendengar ceritaku sambil aku memijat kakimu. Hahah ada sesorang yang menggantikan pijatan terenakku disana, Pak? Oh tentu, pasti pijatan terenak di dunia ini hanya punya putrimu yang sangat cengeng. Iya, itu aku.

Bapak,
Kos disini murah, suasana juga tenang. Kini aku bisa menabung lagi untuk biaya menikahku tahun depan. Bapak harus datang! Meskipun aku tidak akan pernah melihat sosokmu kelak. Kemarin aku ke Malang menghadiri sebuah acara pernikahan sahabat, akhirnya ke Malang juga! Maaf ya Pak, dulu tidak pernah mau diajak ke Malang, rupanya itu ajakan terakhir. Pokok nya surat terbuka ini tidak akan menceritakan kesedihan. Aku janji! (Dua jari-bukan kampanye). Lantas di pernikahan itu ada adat pamit orang tua. Duh bapak, kenapa pergi dulu sih? Bagaimana putrimu kelak minta ijin? Lucuu ah. Tapi tenang nanti aku akan silaturahmi ke rumahmu untuk minta ijin. Ingin sendirian kesana sambil mengajakmu bercerita , tapi si Gendut selalu ikut. Maaf ya Pak, kemarin menangis di depan rumahmu. Soalnya bapak sih tidak bisa melihat betapa senangnya aku punya penghasilan lagi.

Jumat, 06 Juni 2014

Sajak 100 Hari

Kita sedang bermain film, hanya saja aktornya terlalu banyak dan latar belakang tempat yang terlalu luas namun kita memiliki sutradara terhebat yang mampu menangani setiap scene dalam film.

Camera...Roll....Action!!
Ini hari kesekian dan kata kesekian setelah kau meninggalkan kami menjadi para srikandi tangguh. Aku tidak dapat menampik semua rekaman di otakku yang selalu terputar tanpa perlu terkomando olehku. Tidak paham bagaimana cara kerjanya, Sutradara kita terlalu hebat untuk mendeskripsikan. Tidak dipungkiri pipiku selalu basah oleh bulir yang jatuh dari pelupukku. Jika aku tergolong orang pelupa, tidak untuk kenangan sebelum kau meninggalkanku. Entah berapa inchi dan berapa resolusi layar di otakku hingga mampu menggambarkan jelas, sejelas jelasnya dengan audio yang sama persis tanpa direkayasa. Lagi-lagi sutradara kita sangar sekali.

Jaket kuning, peci hitam dan tas ungu menggelantung di lehermu. Senyummu pasi, sepertinya kau sedang khawatir. Kenapa tidak kau ceritakan padaku kalau kau sedang melihat kru film, teman Sang sutradara, sedang menghampirimu dan hendak mengikuti langkahmu pergi. Telingaku tidak akan panas meskipun kau menceritakan semuanya, bahkan semua waktuku akan aku curahkan hanya untuk mendengarkanmu. Aku tidak tahu apa kau siap atau tidak. Yang pasti tempat yang kau tuju menjadi pertanda bahwa scene bagianmu akan berakhir.

Kau terengah dan menahan beban tubuhmu yang sebenarnya sudah sebagian ditopang oleh salah satu kru film kiriman Sang Sutradara. Untung saja, aku sempat duduk disampingmu sembari bercerita apa saja asal kau melupakan lelahmu. Sungguh aku membenci para kameo yang menjadi pelengkap scenemu ketika hendak beranjak ke tempat itu. Mereka tidak bisa menghitung presisi waktu dan memprediksikan betapa jenuhnya menunggu lama. Demi Tuhan, aku membenci bahkan sampai sekarang aku tak sudi melihat para kameo itu. Ah, aku lupa! harusnya aku menyediakan bahu untuk tempatmu bersandar ketika kita duduk bersampingan.

Tisu basah dan sebotol air mineral telah kusiapkan untuk bekalmu. Namun kau baik hati menjaganya hingga 12 hari masih saja utuh dan tidak sedikitpun tersentuh olehmu. Suara-suara menyapu ruangan dan mengisyaratkan agar semua berkumpul satu titik. Kau beranjak dan bersiap pamit. Siapa menyangka itu pamit terakhirmu padaku dan tatapan itu tidak akan kulihat lagi meskipun aku sempat beradu di scene terakhirmu. Rapalan doa menggiringi kepergianmu, namun lagi-lagi kau menatap kosong ke segala arah. Atau para kru film itu yang sedang menghalangi pandanganmu? Sang Sutradara sepertinya sedang menyisipkan makna di sela scene buatannya.

Tidak ada firasat atau mimpi. 12 hari, kau berhasil melewati scene disana dengan tertatih-tatih. Bagiku, kau pahlawan karena mampu melewati dinginnya udara di sana. Aku dengar kau sempat mengatakan hendak mengajakku kesana? Apakah benar? Pasti aku akan kesana melihat tempat dimana kau mengucapkan itu.

Dengar aku, dengar baik-baik. Aku akan bercerita tentang ruanganmu. Hanya 3x2 meter, tertutup namun tidak pengap, di sekelilingnya banyak alat-alat yang biasanya hanya aku lihat di televisi, entah apa saja namanya, dugaanku alat-alat itu namanya susah dieja dan pasti harganya sangat mahal. Aroma di ruanganmu menyerbakkan bau kimia dan yang paling menarik wanitamu meletakkan sebotol air zam-zam di sudut ruangan. Bukan tembok yang menyekati ruanganmu, namun kaca besar. Aku harus berterima kasih pada kaca besar karena telah menolongku untuk tetap menjagamu meskipun tidak ada kontak mata diantara kita.

Tunggu, aku sedang menghadirikan gambarmu di otakku. Sambil terpejam sepertinya akan semakin jelas. Tunggu ya, aku akan memejamkan mata terlebih dulu. Baik, aku siap.

Merapal Proses

Sepiring nasi hangat dan pulen tersedia di hadapanmu. Banyak pilihan yang bisa di sandingkan, terlebih jika perutmu keroncongan. Pasti terasa nikmat bukan?

Buliran-buliran lembut kopi mengendap di dalam toples di lemari dapurmu. Bisa saja diakulturasikan dengan susu atau cream, terserah keinginanmu, terlebih jika kamu ingin menikmati bersama orang terkasihmu. Pasti terasa nikmat bukan?

Sepotong baju batik digantungkan tepat di belakang pintu kamarmu. Bisa saja di kombinasikan dengan syal polos atau kardigan warna netral, terlebih jika kamu hendak merayakan hari jadi dengan kekasihmu. Pasti terasa menawan bukan?

Nasi hangat, kopi, dan sepotong batik hanya seujung kuku dari hal yang bisa kita nikmati. Segalanya terasa indah dan menarik. Tapi apa kamu tahu sebelum mereka menjadi seperti itu? padi harus diselip, dijemur; kopi harus di petik, digiling ; batik harus di rendam, dijemur. Semua membutuhkan waktu yang lama, semua tidak mudah dan ada konsekuensi. Padi tidak akan jadi nasi jika tidak kering atau batik tidak akan indah jika tidak dipola. Berat memang tetapi pada akhirnya akan indah. Itulah proses

Banyak miliyaran manusia yang tidak percaya proses. Mereka ingin nikmat dan indah secara instan. Kamu pikir mie instan yang dimakan hanya melalui proses instan? Silakan buktikan saja sendiri dengan berkunjung ke pabrik. Proses memang tidak mudah tetapi proses itu perbaikan, perkembangan dan pematangan. Jika padi tidak dapat kering saat dijemur, ya dilakukan agar kering. Gagal ya dicoba lagi, itu proses. Proses bukan berarti kamu tidak bisa tetapi proses itu membentuk kata bisa. Di dalamnya kita belajar menghargai diri sendiri yang akan menjadikan kita bisa menentukan arah. Buka hati, buka pikiran bahwa proses itu tidak melulu tentang hal besar namun hal kecilpun bisa. Belajar memaknai proses, belajar bersahabat dengan proses. Jika kita tidak mendapat output sekarang, percayalah bahwa besok pasti output itu datang dan kita mengangguk mengiyakan tentang proses sambil tersenyum lebar ketika itu datang.
Semua tergantung padamu, percaya proses atau ingin jalan ditempat dengan angan.
Ingin tetap menjadi padi yang layu tanpa dipetik atau menjadi beras yang telah dikeluarkan dari kulit padinya .


Minggu, 25 Mei 2014

Demi siapa?

Kembali lagi ke sebuah kota kecil yang banyak dikenal orang namun tidak pernah dianggap kota sendiri. Memutuskan disini bukan perkara mudah. Ini demi orang tua yang sekarang kuberikan sembah bakti seumur hidupku. Aku sedang belajar bertransisi memahami sebuah peran baru. Tidak menyangka ujung waktu begitu cepat dihadapinya bahkan belum sempat aku menggenggam untuk menguatkan.

Ini bukan perjalanan sulit. Disinilah aku membuka lembar kertas yang harus digambar tentang langkah. Sedikit rumit memang, ibarat rambut yang kusut dan perlu diurai, tetapi aku punya sisir yang membantu mengurainya. Ini demi siapa? Demi wanita yang memiliki rahim tempatku makan dan minum sebelum mengenal namanya dunia.

Lembar kertasku berjajar waktu yang tak berujung. Jika beberapa bulan lalu, kegundahanku akan menemukan titik berakhirnya, kini tidak. Perhitungan rinci dan atur strategi sebaik mungkin termasuk mengantisipasi kegagalan, bukankah harusnya memang seperti itu? Sayangnya tidak semua orang memprediksikan kegagalan namun mereka terus terusan takut gagal. Bagiku gagal itu bumbu pedas dalam makanan yang menambah kenikmatan dan memacuku untuk mengambil langkah dengan meneguk segelas air demi menyingkirkan pedasnya. Ini demi siapa? Demi wanita yang sudah membangun pondasi untuk putri putrinya.

Banyak pilihan dan tentu dengan risiko, tetapi di pikiranku selalu ada ruang tentang wanita hebat itu. Aku yakin ketika langkahku disertai ridho nya, apapun yang terjadi bisa aku hadapi. Lagi lagi ini masalah menghadapi risiko. Ini demi siapa? Demi wanita yang menyisipkan baja di hati para putri kecilnya agar tidak mudah rapuh. Ibu....


Sabtu, 03 Mei 2014

5 Huruf

Lima huruf yang sedang berputar di kepalaku
Tentang lelaki yang begitu sulit aku temui
Lima huruf yang hanya bisa kuraba dalam mimpi
Banyak sekali rangkaian cerita yang ingin kubisikkan padanya
Tentang pilihan hidupku yang memaknai pesanmu untuk selalu menjadi wanita berprinsip
.
Lima huruf yang dulu pernah engkau ucapkan disaat airmataku mengalir
Lagi lagi ini tentang pilihan yang mengandung risiko
Tapi kau tahu? Risiko ku ini lebih kecil porsinya dibanding pelajaran hidup yang membanggakanmu, malah risikonya aku berani mengatakan NOL.
Lima huruf yang selalu ingin kulakukan saat lima huruf menyusup di dalam hatiku.
Oh, rasanya kau masih ada, menggemakan senyum yang lirih, melangkahkan kaki yang berbisik dan deheman batuk sebagai cara khasmu.
Kau pergi sebelum kau ijinkan aku menggenggam tanganmu yang tidak hanya menopang hidupku tetapi juga semangatku.
Kau pergi sebelum kau ijinkan aku mengalirkan kata maaf atas segala hal yang membuat luka di hatimu
Kau pergi sebelum aku membisikkan betapa aku bangga memilikimu.
R I N D U ....
B A P A K ...
S A B A R ....
P E L U K ...
Itulah lima huruf :)


Selasa, 25 Februari 2014

Kota Kejam

Kulirik jarum jam yang tidak pernah lupa singgah di setiap angka. Katanya angka itu bagian dari hidup si jarum. Jadi mau tidak mau, si jarum harus menghampiri. Dan katanya tanpa angkapun, jarum tak berarti apa-apa. Ah, apapun itu aku tidak peduli.
Begitu P16 nampak di sebrang sana, ku katupkan sayap payungku dan bersiap untuk menjajaki ke dalam. Wah, sepi. Baru kali ini aku naik bus mini tanpa penumpang. Perasaan lapang merayap dan menuntun untuk memilih tempat duduk yang tenang.
Senggalan nafas perlahan teratur, jantung mulai berelaksasi. Kuputar pandangan keluar jendela.

Mendadak, secepat, tanpa aba-aba,
Sebuah suara bernada tinggi riuh bersautan, seketika jantungku kembali berkontraksi. Teriakan diiringi tudingan jari ke wajah menjadi pemandangan orang-orang. Urat nadi seolah menjadi kapiler yang menghambat aliran darah, ubun-ubun mendidih dan meletup seperti air yang terus dipanaskan dan dibiarkan begitu saja. Mata dan hati tidak lagi berkawan, bukan lagi tubuh berselimut kulit namun mendadak kulit berselimut amarah. Mereka buta, mereka buta, mereka berubah menjadi sosok raksasa yang rakus saling ingin memakan. Sebuah bogem mentah melahirkan warna baru yang berbalut sakit. Airmata berderai, teriakan terurai, receh-receh tak lagi terbuai. Leraian tak mampu menjadi pemisah, hanya mengalirkan keringat basah. Semua seperti mobil tanpa rem, tak terkendali.
Beberapa pasang mata yang berada di P16 berhamburan keluar dan tidak ingin menjadi korban. Raksasa itu masih terus saling tuding, riuh, ramai, berdebur tak akur.
Kota besar itu kejam, membunuh dan P16 sekarang mati suri sementara di luarnya padat penuh emosi diri.

#JakartaBarat
24 Februari 2014

Senin, 17 Februari 2014

Bisikan Tuhan untuk Pangeran

Hei pangeran,
Kicauanmu menjelang tidurku membuatku tetap terjaga menjelang fajar. Tidak biasanya kau menjadi sosok pembicara ulung yang seolah sedang bergelora di hadapan para peserta
.Kini aku menjadi telinga dan kamu menjadi sepotong bibir.
Bibirmu merah meredup dan sedikit bergetar. Bukan getir yang melintir tetapi ada petir yang mulai menyisir kemudian hatiku berdesir.
Kau melupakan detak waktu yang terpacu bersama detak jantungmu.

Hei pangeran,
Pilinan ceritamu membuatku sadar bahwa kamu ingin aku ikut merangkai bersama, tapi maaf aku hanya sosok telinga. Daun telingaku bergetar menangkap frekuensi yang menjadi desis.

Hei pangeran,
Sebenarnya tanpa kamu minta aku merangkai, aku sudah melakukan. Aku ini tubuh untukmu. Mata, telinga, pundak, tangan, kaki, semua bernyawa untukmu. Kesedihan itu milik orang orang yang tidak pernah kenyang dengan nasi hasil bulir keringatnya. Kau tentu kenyang bukan? perutmu saja mirip gendang yang meriuhkan lengang.

Hei pangeran,
Kakimu cukup kokoh untuk berjalan sejauh melintasi tiga samudra dan enam benua di dunia bahkan ke planet yang tidak dikenal. lekas sunggingkan senyum di wajah tampanmu. Ulasan bibirmu akan tampak indah jika merekah. kalau kamu lelah silakan beristirahat, aku yakin Tuhan tidak akan ikut istirahat bersamamu. Percayalah Tuhan sedang tersenyum. Langkahkan kembali kakimu jika energi dalam tubuhmu sudah terkumpul. Jalan, jalan, tak perlu berlari seperti sedang diburu.

Hei pangeran,
Kemarin aku sempat bercakap dengan Tuhan. Kata-Nya dia senang menemani perjalananmu, mintalah lagi agar dia tidak meninggalkanmu. Lantas kemudian Dia berbisik padaku.

Hei pangeran
Kau tahu apa?

" di dalam tubuh pangeran ada roda dan dinamo. Semakin dia melangkah, semakin terus berputar rodanya dan semakin bersinar lampu pada dinamo."