Jumat, 06 Juni 2014

Sajak 100 Hari

Kita sedang bermain film, hanya saja aktornya terlalu banyak dan latar belakang tempat yang terlalu luas namun kita memiliki sutradara terhebat yang mampu menangani setiap scene dalam film.

Camera...Roll....Action!!
Ini hari kesekian dan kata kesekian setelah kau meninggalkan kami menjadi para srikandi tangguh. Aku tidak dapat menampik semua rekaman di otakku yang selalu terputar tanpa perlu terkomando olehku. Tidak paham bagaimana cara kerjanya, Sutradara kita terlalu hebat untuk mendeskripsikan. Tidak dipungkiri pipiku selalu basah oleh bulir yang jatuh dari pelupukku. Jika aku tergolong orang pelupa, tidak untuk kenangan sebelum kau meninggalkanku. Entah berapa inchi dan berapa resolusi layar di otakku hingga mampu menggambarkan jelas, sejelas jelasnya dengan audio yang sama persis tanpa direkayasa. Lagi-lagi sutradara kita sangar sekali.

Jaket kuning, peci hitam dan tas ungu menggelantung di lehermu. Senyummu pasi, sepertinya kau sedang khawatir. Kenapa tidak kau ceritakan padaku kalau kau sedang melihat kru film, teman Sang sutradara, sedang menghampirimu dan hendak mengikuti langkahmu pergi. Telingaku tidak akan panas meskipun kau menceritakan semuanya, bahkan semua waktuku akan aku curahkan hanya untuk mendengarkanmu. Aku tidak tahu apa kau siap atau tidak. Yang pasti tempat yang kau tuju menjadi pertanda bahwa scene bagianmu akan berakhir.

Kau terengah dan menahan beban tubuhmu yang sebenarnya sudah sebagian ditopang oleh salah satu kru film kiriman Sang Sutradara. Untung saja, aku sempat duduk disampingmu sembari bercerita apa saja asal kau melupakan lelahmu. Sungguh aku membenci para kameo yang menjadi pelengkap scenemu ketika hendak beranjak ke tempat itu. Mereka tidak bisa menghitung presisi waktu dan memprediksikan betapa jenuhnya menunggu lama. Demi Tuhan, aku membenci bahkan sampai sekarang aku tak sudi melihat para kameo itu. Ah, aku lupa! harusnya aku menyediakan bahu untuk tempatmu bersandar ketika kita duduk bersampingan.

Tisu basah dan sebotol air mineral telah kusiapkan untuk bekalmu. Namun kau baik hati menjaganya hingga 12 hari masih saja utuh dan tidak sedikitpun tersentuh olehmu. Suara-suara menyapu ruangan dan mengisyaratkan agar semua berkumpul satu titik. Kau beranjak dan bersiap pamit. Siapa menyangka itu pamit terakhirmu padaku dan tatapan itu tidak akan kulihat lagi meskipun aku sempat beradu di scene terakhirmu. Rapalan doa menggiringi kepergianmu, namun lagi-lagi kau menatap kosong ke segala arah. Atau para kru film itu yang sedang menghalangi pandanganmu? Sang Sutradara sepertinya sedang menyisipkan makna di sela scene buatannya.

Tidak ada firasat atau mimpi. 12 hari, kau berhasil melewati scene disana dengan tertatih-tatih. Bagiku, kau pahlawan karena mampu melewati dinginnya udara di sana. Aku dengar kau sempat mengatakan hendak mengajakku kesana? Apakah benar? Pasti aku akan kesana melihat tempat dimana kau mengucapkan itu.

Dengar aku, dengar baik-baik. Aku akan bercerita tentang ruanganmu. Hanya 3x2 meter, tertutup namun tidak pengap, di sekelilingnya banyak alat-alat yang biasanya hanya aku lihat di televisi, entah apa saja namanya, dugaanku alat-alat itu namanya susah dieja dan pasti harganya sangat mahal. Aroma di ruanganmu menyerbakkan bau kimia dan yang paling menarik wanitamu meletakkan sebotol air zam-zam di sudut ruangan. Bukan tembok yang menyekati ruanganmu, namun kaca besar. Aku harus berterima kasih pada kaca besar karena telah menolongku untuk tetap menjagamu meskipun tidak ada kontak mata diantara kita.

Tunggu, aku sedang menghadirikan gambarmu di otakku. Sambil terpejam sepertinya akan semakin jelas. Tunggu ya, aku akan memejamkan mata terlebih dulu. Baik, aku siap.

Merapal Proses

Sepiring nasi hangat dan pulen tersedia di hadapanmu. Banyak pilihan yang bisa di sandingkan, terlebih jika perutmu keroncongan. Pasti terasa nikmat bukan?

Buliran-buliran lembut kopi mengendap di dalam toples di lemari dapurmu. Bisa saja diakulturasikan dengan susu atau cream, terserah keinginanmu, terlebih jika kamu ingin menikmati bersama orang terkasihmu. Pasti terasa nikmat bukan?

Sepotong baju batik digantungkan tepat di belakang pintu kamarmu. Bisa saja di kombinasikan dengan syal polos atau kardigan warna netral, terlebih jika kamu hendak merayakan hari jadi dengan kekasihmu. Pasti terasa menawan bukan?

Nasi hangat, kopi, dan sepotong batik hanya seujung kuku dari hal yang bisa kita nikmati. Segalanya terasa indah dan menarik. Tapi apa kamu tahu sebelum mereka menjadi seperti itu? padi harus diselip, dijemur; kopi harus di petik, digiling ; batik harus di rendam, dijemur. Semua membutuhkan waktu yang lama, semua tidak mudah dan ada konsekuensi. Padi tidak akan jadi nasi jika tidak kering atau batik tidak akan indah jika tidak dipola. Berat memang tetapi pada akhirnya akan indah. Itulah proses

Banyak miliyaran manusia yang tidak percaya proses. Mereka ingin nikmat dan indah secara instan. Kamu pikir mie instan yang dimakan hanya melalui proses instan? Silakan buktikan saja sendiri dengan berkunjung ke pabrik. Proses memang tidak mudah tetapi proses itu perbaikan, perkembangan dan pematangan. Jika padi tidak dapat kering saat dijemur, ya dilakukan agar kering. Gagal ya dicoba lagi, itu proses. Proses bukan berarti kamu tidak bisa tetapi proses itu membentuk kata bisa. Di dalamnya kita belajar menghargai diri sendiri yang akan menjadikan kita bisa menentukan arah. Buka hati, buka pikiran bahwa proses itu tidak melulu tentang hal besar namun hal kecilpun bisa. Belajar memaknai proses, belajar bersahabat dengan proses. Jika kita tidak mendapat output sekarang, percayalah bahwa besok pasti output itu datang dan kita mengangguk mengiyakan tentang proses sambil tersenyum lebar ketika itu datang.
Semua tergantung padamu, percaya proses atau ingin jalan ditempat dengan angan.
Ingin tetap menjadi padi yang layu tanpa dipetik atau menjadi beras yang telah dikeluarkan dari kulit padinya .