Selasa, 25 Februari 2014

Kota Kejam

Kulirik jarum jam yang tidak pernah lupa singgah di setiap angka. Katanya angka itu bagian dari hidup si jarum. Jadi mau tidak mau, si jarum harus menghampiri. Dan katanya tanpa angkapun, jarum tak berarti apa-apa. Ah, apapun itu aku tidak peduli.
Begitu P16 nampak di sebrang sana, ku katupkan sayap payungku dan bersiap untuk menjajaki ke dalam. Wah, sepi. Baru kali ini aku naik bus mini tanpa penumpang. Perasaan lapang merayap dan menuntun untuk memilih tempat duduk yang tenang.
Senggalan nafas perlahan teratur, jantung mulai berelaksasi. Kuputar pandangan keluar jendela.

Mendadak, secepat, tanpa aba-aba,
Sebuah suara bernada tinggi riuh bersautan, seketika jantungku kembali berkontraksi. Teriakan diiringi tudingan jari ke wajah menjadi pemandangan orang-orang. Urat nadi seolah menjadi kapiler yang menghambat aliran darah, ubun-ubun mendidih dan meletup seperti air yang terus dipanaskan dan dibiarkan begitu saja. Mata dan hati tidak lagi berkawan, bukan lagi tubuh berselimut kulit namun mendadak kulit berselimut amarah. Mereka buta, mereka buta, mereka berubah menjadi sosok raksasa yang rakus saling ingin memakan. Sebuah bogem mentah melahirkan warna baru yang berbalut sakit. Airmata berderai, teriakan terurai, receh-receh tak lagi terbuai. Leraian tak mampu menjadi pemisah, hanya mengalirkan keringat basah. Semua seperti mobil tanpa rem, tak terkendali.
Beberapa pasang mata yang berada di P16 berhamburan keluar dan tidak ingin menjadi korban. Raksasa itu masih terus saling tuding, riuh, ramai, berdebur tak akur.
Kota besar itu kejam, membunuh dan P16 sekarang mati suri sementara di luarnya padat penuh emosi diri.

#JakartaBarat
24 Februari 2014

Senin, 17 Februari 2014

Bisikan Tuhan untuk Pangeran

Hei pangeran,
Kicauanmu menjelang tidurku membuatku tetap terjaga menjelang fajar. Tidak biasanya kau menjadi sosok pembicara ulung yang seolah sedang bergelora di hadapan para peserta
.Kini aku menjadi telinga dan kamu menjadi sepotong bibir.
Bibirmu merah meredup dan sedikit bergetar. Bukan getir yang melintir tetapi ada petir yang mulai menyisir kemudian hatiku berdesir.
Kau melupakan detak waktu yang terpacu bersama detak jantungmu.

Hei pangeran,
Pilinan ceritamu membuatku sadar bahwa kamu ingin aku ikut merangkai bersama, tapi maaf aku hanya sosok telinga. Daun telingaku bergetar menangkap frekuensi yang menjadi desis.

Hei pangeran,
Sebenarnya tanpa kamu minta aku merangkai, aku sudah melakukan. Aku ini tubuh untukmu. Mata, telinga, pundak, tangan, kaki, semua bernyawa untukmu. Kesedihan itu milik orang orang yang tidak pernah kenyang dengan nasi hasil bulir keringatnya. Kau tentu kenyang bukan? perutmu saja mirip gendang yang meriuhkan lengang.

Hei pangeran,
Kakimu cukup kokoh untuk berjalan sejauh melintasi tiga samudra dan enam benua di dunia bahkan ke planet yang tidak dikenal. lekas sunggingkan senyum di wajah tampanmu. Ulasan bibirmu akan tampak indah jika merekah. kalau kamu lelah silakan beristirahat, aku yakin Tuhan tidak akan ikut istirahat bersamamu. Percayalah Tuhan sedang tersenyum. Langkahkan kembali kakimu jika energi dalam tubuhmu sudah terkumpul. Jalan, jalan, tak perlu berlari seperti sedang diburu.

Hei pangeran,
Kemarin aku sempat bercakap dengan Tuhan. Kata-Nya dia senang menemani perjalananmu, mintalah lagi agar dia tidak meninggalkanmu. Lantas kemudian Dia berbisik padaku.

Hei pangeran
Kau tahu apa?

" di dalam tubuh pangeran ada roda dan dinamo. Semakin dia melangkah, semakin terus berputar rodanya dan semakin bersinar lampu pada dinamo."