Kulirik jarum jam yang tidak pernah lupa singgah di setiap angka. Katanya angka itu bagian dari hidup si jarum. Jadi mau tidak mau, si jarum harus menghampiri. Dan katanya tanpa angkapun, jarum tak berarti apa-apa. Ah, apapun itu aku tidak peduli.
Begitu P16 nampak di sebrang sana, ku katupkan sayap payungku dan bersiap untuk menjajaki ke dalam. Wah, sepi. Baru kali ini aku naik bus mini tanpa penumpang. Perasaan lapang merayap dan menuntun untuk memilih tempat duduk yang tenang.
Senggalan nafas perlahan teratur, jantung mulai berelaksasi. Kuputar pandangan keluar jendela.
Mendadak, secepat, tanpa aba-aba,
Sebuah suara bernada tinggi riuh bersautan, seketika jantungku kembali berkontraksi. Teriakan diiringi tudingan jari ke wajah menjadi pemandangan orang-orang. Urat nadi seolah menjadi kapiler yang menghambat aliran darah, ubun-ubun mendidih dan meletup seperti air yang terus dipanaskan dan dibiarkan begitu saja. Mata dan hati tidak lagi berkawan, bukan lagi tubuh berselimut kulit namun mendadak kulit berselimut amarah. Mereka buta, mereka buta, mereka berubah menjadi sosok raksasa yang rakus saling ingin memakan. Sebuah bogem mentah melahirkan warna baru yang berbalut sakit. Airmata berderai, teriakan terurai, receh-receh tak lagi terbuai. Leraian tak mampu menjadi pemisah, hanya mengalirkan keringat basah. Semua seperti mobil tanpa rem, tak terkendali.
Beberapa pasang mata yang berada di P16 berhamburan keluar dan tidak ingin menjadi korban. Raksasa itu masih terus saling tuding, riuh, ramai, berdebur tak akur.
Kota besar itu kejam, membunuh dan P16 sekarang mati suri sementara di luarnya padat penuh emosi diri.
#JakartaBarat
24 Februari 2014