Kembali
lagi ke sebuah kota kecil yang banyak dikenal orang namun tidak pernah dianggap
kota sendiri. Memutuskan disini bukan perkara mudah. Ini demi orang tua yang
sekarang kuberikan sembah bakti seumur hidupku. Aku sedang belajar bertransisi
memahami sebuah peran baru. Tidak menyangka ujung waktu begitu cepat
dihadapinya bahkan belum sempat aku menggenggam untuk menguatkan.
Ini
bukan perjalanan sulit. Disinilah aku membuka lembar kertas yang harus digambar
tentang langkah. Sedikit rumit memang, ibarat rambut yang kusut dan perlu
diurai, tetapi aku punya sisir yang membantu mengurainya. Ini demi siapa? Demi
wanita yang memiliki rahim tempatku makan dan minum sebelum mengenal namanya
dunia.
Lembar
kertasku berjajar waktu yang tak berujung. Jika beberapa bulan lalu,
kegundahanku akan menemukan titik berakhirnya, kini tidak. Perhitungan rinci
dan atur strategi sebaik mungkin termasuk mengantisipasi kegagalan, bukankah
harusnya memang seperti itu? Sayangnya tidak semua orang memprediksikan kegagalan
namun mereka terus terusan takut gagal. Bagiku gagal itu bumbu pedas dalam
makanan yang menambah kenikmatan dan memacuku untuk mengambil langkah dengan
meneguk segelas air demi menyingkirkan pedasnya. Ini demi siapa? Demi wanita
yang sudah membangun pondasi untuk putri putrinya.
Banyak
pilihan dan tentu dengan risiko, tetapi di pikiranku selalu ada ruang tentang
wanita hebat itu. Aku yakin ketika langkahku disertai ridho nya, apapun yang
terjadi bisa aku hadapi. Lagi lagi ini masalah menghadapi risiko. Ini demi
siapa? Demi wanita yang menyisipkan baja di hati para putri kecilnya agar tidak
mudah rapuh. Ibu....