Kita sedang bermain film, hanya saja aktornya terlalu
banyak dan latar belakang tempat yang terlalu luas namun kita memiliki
sutradara terhebat yang mampu menangani setiap scene dalam film.
Camera...Roll....Action!!
Ini hari kesekian
dan kata kesekian setelah kau meninggalkan kami menjadi para srikandi tangguh.
Aku tidak dapat menampik semua rekaman di otakku yang selalu terputar tanpa
perlu terkomando olehku. Tidak paham bagaimana cara kerjanya, Sutradara kita terlalu
hebat untuk mendeskripsikan. Tidak dipungkiri pipiku selalu basah oleh bulir
yang jatuh dari pelupukku. Jika aku tergolong orang pelupa, tidak untuk
kenangan sebelum kau meninggalkanku. Entah berapa inchi dan berapa resolusi
layar di otakku hingga mampu menggambarkan jelas, sejelas jelasnya dengan audio
yang sama persis tanpa direkayasa. Lagi-lagi sutradara kita sangar sekali.
Jaket kuning, peci
hitam dan tas ungu menggelantung di lehermu. Senyummu pasi, sepertinya kau
sedang khawatir. Kenapa tidak kau ceritakan padaku kalau kau sedang melihat kru
film, teman Sang sutradara, sedang menghampirimu dan hendak mengikuti langkahmu
pergi. Telingaku tidak akan panas meskipun kau menceritakan semuanya, bahkan
semua waktuku akan aku curahkan hanya untuk mendengarkanmu. Aku tidak tahu apa
kau siap atau tidak. Yang pasti tempat yang kau tuju menjadi pertanda bahwa
scene bagianmu akan berakhir.
Kau terengah dan
menahan beban tubuhmu yang sebenarnya sudah sebagian ditopang oleh salah satu
kru film kiriman Sang Sutradara. Untung saja, aku sempat duduk disampingmu
sembari bercerita apa saja asal kau melupakan lelahmu. Sungguh aku membenci para
kameo yang menjadi pelengkap scenemu ketika hendak beranjak ke tempat itu. Mereka
tidak bisa menghitung presisi waktu dan memprediksikan betapa jenuhnya menunggu
lama. Demi Tuhan, aku membenci bahkan sampai sekarang aku tak sudi melihat para
kameo itu. Ah, aku lupa! harusnya aku menyediakan bahu untuk tempatmu bersandar
ketika kita duduk bersampingan.
Tisu basah dan
sebotol air mineral telah kusiapkan untuk bekalmu. Namun kau baik hati
menjaganya hingga 12 hari masih saja utuh dan tidak sedikitpun tersentuh
olehmu. Suara-suara menyapu ruangan dan mengisyaratkan agar semua berkumpul
satu titik. Kau beranjak dan bersiap pamit. Siapa menyangka itu pamit
terakhirmu padaku dan tatapan itu tidak akan kulihat lagi meskipun aku sempat
beradu di scene terakhirmu. Rapalan doa menggiringi kepergianmu, namun
lagi-lagi kau menatap kosong ke segala arah. Atau para kru film itu yang sedang
menghalangi pandanganmu? Sang Sutradara sepertinya sedang menyisipkan makna di
sela scene buatannya.
Tidak ada firasat
atau mimpi. 12 hari, kau berhasil melewati scene disana dengan tertatih-tatih.
Bagiku, kau pahlawan karena mampu melewati dinginnya udara di sana. Aku dengar
kau sempat mengatakan hendak mengajakku kesana? Apakah benar? Pasti aku akan
kesana melihat tempat dimana kau mengucapkan itu.
Dengar aku, dengar
baik-baik. Aku akan bercerita tentang ruanganmu. Hanya 3x2 meter, tertutup
namun tidak pengap, di sekelilingnya banyak alat-alat yang biasanya hanya aku
lihat di televisi, entah apa saja namanya, dugaanku alat-alat itu namanya susah
dieja dan pasti harganya sangat mahal. Aroma di ruanganmu menyerbakkan bau
kimia dan yang paling menarik wanitamu meletakkan sebotol air zam-zam di sudut
ruangan. Bukan tembok yang menyekati ruanganmu, namun kaca besar. Aku harus
berterima kasih pada kaca besar karena telah menolongku untuk tetap menjagamu
meskipun tidak ada kontak mata diantara kita.
Tunggu, aku sedang
menghadirikan gambarmu di otakku. Sambil terpejam sepertinya akan semakin
jelas. Tunggu ya, aku akan memejamkan mata terlebih dulu. Baik, aku siap.