Rabu, 18 Februari 2015

Selapis Kue Lapis (3)

Sekarang segalanya tidak dapat ditebak termasuk cuaca. Harusnya Bulan Mei sudah masuk ke musim kemarau namun masih saja hujan menghujam dengan derainya. Orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh, tidak terbesit pikiran untuk membawa payung karena pagi tadi matahari masih menampakkan ke-sangar-annya. Untung saja Risa sudah pulang sekolah, sekarang dia sedang asyik mencampurkan warna-warna di palet kesayangannya. Entah apa yang sedang dia gambar. Aku hanya memantaunya dari jauh. Aku paham bahwa jika sedang menyelami dunianya, Risa tidak akan mengijinkan orang lain masuk. Dia hanyut dan menikmati apa yang telah membawanya pada sebuah kebahagiaan untuk dirinya. Ini adalah hari kedua di masa cutiku. Sambil menunggu Risa menggambar, aku menghalau debu yang melekat di lemari menggunakan kemoceng berbulu halus. Sebenarnya debunya tidak terlalu banyak karena Mbak Mina rajin membersihkan bahkan hingga sela-sela. Deretan foto yang aku pajang kebanyakan memuat gambarku dan Risa, dan ada juga gambar keluarga besar namun lagi-lagi tidak ada foto Ayahnya.
            “ Selesai sudah!” kegirangan Risa dipamerkan.
            “ Risa menggambar apa?” tanyaku tetap diposisi awal.
            Tangan mungilnya mengatupkan bibirnya seolah memberikan isyarat bahwa Risa tidak akan membeberkan gambar yang tengah dibuat. Dipandanginya berkali-kali sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum.
            “ Risa, ibu punya sesuatu untukmu.”
            Matanya terbelalak.

Selapis Kue Lapis (2)

Aku. Aku adalah birunya laut yang bebas menikmati hamparan langit sebagai teman hidup.
Cukup. Cukup menikmati dengan cara memandang dan sadar bahwa tidak akan bersatu.
Namun nyatanya lebih syahdu jika memang tidak bersatu

Aku. Aku adalah hijaunya pohon yang menjadi teman anak sungai.
Hanya menjadi penghias di tepi
Celaka jika kami bersatu karena anak sungai tidak menjadi anak sungai
Dan anak sungai tidak akan bermuara

Kumasukan kembali foto itu ke dalam laci dan aku meletakkannya di bagian terjauh terdalam agar tidak mudah dijangkau. Kupandangi putri semata wayangku yang begitu menikmati belaian malam. Sepertinya dia sedang bermimpi berlarian bersama rusa di lapang hijau yang luas. Hidungnya, dagunya, bibirnya khas duplikat dari ayahnya. Aku suka sekali memandangi Risa begitu dia terlelap. Ini caraku melumerkan lelahku sepanjang hari yang hanya diisi dengan angka, cashflow, target dan hal-hal yang tidak ingin kuingat. Wajah Risa teduh, matanya seperti danau yang jernih dan membebaskan aku untuk terjun ke dalamnya. Warna coklat muda matanya, gen keluargakulah yang menurunkannya. Rasanya melihat dia tumbuh seperti melihat sebuah kesempurnaan pelangi kala sang hujan reda.
Sudah 3 tahun ini aku berpisah dari Ayahnya Rissa, disaat usia putriku menginjak 3 tahun. Sebuah masa dimana Rissa sedang belajar tumbuh dan butuh teladan untuk bertahan di usia barunya. Tidak perlu aku menjabarkan karena apa kami berpisah, yang aku tahu sekarang Ayahnya telah memberikan saudara tiri untuk Risa. Aku tidak minta apapun selain Risa karena dia lebih dari apapun. Sengaja aku tidak melibatkan orang tuaku atau mertuaku untuk merawat Risa karena mereka sudah melepaskan kami dengan tanggung jawab sehingga sangat tidak pantas jika aku lancang mengganggu masa senja mereka.

Selapis Kue Lapis (1)

Stuck! Aku kembali terjebak menjadi titik kecil di tengah lautan benda yang dibeli dengan harga yang mahal, bukan karena kebutuhan, seringnya dibeli karena gengsi. Jadi wajar jika body yang rajin dipoles itu selalu mengkilat. Bukan apa-apa namun lagi-lagi tentang gengsi. Beberapa motor meliuk-liuk di antara mobil dan angkot. Terkena debu, terpapar monoksida, beraroma asap namun tetap saja mereka bisa melangkah maju dan tidak diam seperti aku yang tenggelam di balik kemudi. Musik di mobilku sudah terlalu usang dan membuat telingaku memengkak karena bosan. Berkali-kali aku menghela nafas pun tidak ada gunanya. Pernah aku membaca bahwa sebenarnya orang Jakarta itu serba kreatif, selalu ada alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi masalah klise yang telah mengoyot. Mereka selalu punya cara memecah kebosanan menghadapi macet yang tak berujung, mereka berdiri di pinggir jalan di jalur three in one untuk membantu orang lain secara illegal dan bonusnya mereka merasakan kursi empuk mobil mewah. Banyak hal yang bisa disebutkan jika ditelaah dengan sungguh-sungguh.
Kulirik jarum jam di tanganku, rasanya cepat sekali berputar berbeda dengan beberapa waktu silam yang aku menganggap lebih lambat. Mungkin karena dulu ada hal yang begitu manis sehingga tidak rela jika berlalu dengan tergesa-gesa.
“ Mbak, jangan pulang dulu.” Headset sudah terpasang di kedua telingaku.
“ Duh Mbak, saya terkena macet dan ini lebih parah dari yang saya bayangkan.”
Begitu ada celah, segera kutancap gas dan memajukan mobilku.
“ Atau begini saja, Mbak jangan pulang malam ini, bonus liburnya saya tambah deh sehari. Lumayan kan bisa menemani anak Mbak di rumah.” Aku menawarkan solusi.
“ Besok pagi-pagi saya antar ke stasiun. Tiket langsung saya pesankan sekarang ya.” Kemudian aku menancap gas kembali namun hanya beberapa meter saja bisa aku lalui.
Setelah merentetkan alternatif dan alasan akhirnya klik juga. Mbak Mina tidak jadi pulang kampung malam ini karena di jam yang telah dijanjikan aku tidak bisa menepati. Kuambil gadgetku dan membuka website kereta api, tanganku begitu cekatan dan tiket tereservasi. Kembali lagi ke menu lain, aku tekan mobile banking untuk melakukan pembayaran. Beres!
Jika sang penemu gadget dan aplikasi ada di sekitar sini pasti sudah kuucapkan terima kasih atau bahkan aku kirimkan brownies kukus untuknya, berkat penemuannya segalanya semakin mudah meskipun di satu sisi sebenarnya aku merasa terjauhkan.