Selasa, 23 Juli 2013

Kutub yang Usang

Malam ini aku memilih menyusuri jalan membelah kegelapan.
Hanya berteman bulan purnama yang berwajah sendu. Kami beradu. Gelap sedang singgah di desaku. Tidak ada cahaya yang memancar kecuali dari pelita sederhana yang cahayanya terselip diantara dinding kayu. Beberapa orang memilih duduk di depan rumah untuk sekedar menikmati semilir angin. Mereka seolah bayangan, sekelebat hitam. Aku sedang menikmati kesendirian menapak asa. Kini rumah itu tidak lagi menjadi magnet, kutubnya sudah usang dan minta diasah atau bahkan diganti baru. Ketakutan menyelemur membasuh rumah sederhana itu. Ingin aku menghentikan langkah dan tetap terpaku di tengah jalan bermandikan cahaya malam. Namun kesenduan sang bulan seolah-olah memintaku untuk tetap melangkah dan berlindung di rumah itu. Melambatkan langkah lantas tidak akan melambatkan laju waktu. Waktu tetaplah waktu yang seakan memiliki kaki untuk terus berjalan. Hati meronta, rumit seperti benang kusut yang tak lagi runtut. Sepercik cahaya melambai-lambai menyambut langkahku, kakiku kaku dan beku. Percuma meronta, karena ini adalah sebuah realita. Pilihannya membangun asa atau aku akan tersembab dalam luka. Kuhembuskan nafas dan kutata hati. Riuhnya sudah terdengar dari ujung jalan. Dekat dan semakin dekat. Pintu terbuka lebar, aku kembali memasuki kutub usang dan kurelakan melepas kenikmatan kesunyian membelah kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar