Langkahku tergopoh-gopoh menaiki anak tangga yang cukup
membuatku terengah-engah. Pagi ini aku terlambat bangun, padahal kelas dimulai
pukul 7.00 pagi . Beruntung, keterlambatan tidak jadi milikku seorang, langkah
tergopoh-gopohku diikuti langkah mahasiswa lain. Hatiku sedikit lega begitu
membuka pintu kelas, belum kudapati seorang dosen yang berdiri di depan kelas.
Bergegas aku menuju tempat duduk yang masih tersisa. Beberapa mata mengintaiku
dari kejauhan. Ada pula yang memincingkan matanya mengisyaratkan sesuatu. Aku
tidak ambil pusing.
Hari ini aku pulang lebih awal karena
dosen berhalangan hadir. Aku memutuskan segera pulang karena udara sangat tidak
bersahabat. Aku khawatir puasaku tidak penuh. Euforia ramadhan di kampus ini
begitu terasa saat bulan puasa seperti ini. Banyak poster-poster bertuliskan
"Selamat Menunaikan Ibadah Puasa" bertebaran di dinding kampus. Di
beberapa mading juga tertempel artikel tentang bulan ramadhan, puasa,
amalan-amalannya dan ada satu tulisan telah menggerakkan hatiku untuk menutup
aurat.
"Dalam
rangka memperingati Bulan Ramadhan dan Hari Jilbab Internasional, setiap senin
dan kamis bagi para muslimah diwajibkan mengenakan jilbab "
Semenjak membaca tulisan itu beberapa hari
lalu, kini aku berusaha menutup aurat meskipun hanya pada hari senin dan kamis. Memang keinginan
mengenakan jilbab sudah terbesit sejak beberapa tahun lalu namun kesiapan hati
dan godaan duniawi telah mengurungkan niatku yang semula sudah bulat.
" Kamu gak pake jilbab lagi?"
tanya seorang teman begitu mendapati aku tidak mengenakan jilbab.
" ini Hari Rabu, di tulisankan
cuma ditulis senin dan kamis." Kilahku enteng.
" Tapi agak aneh deh, biasa lihat
berjilbab terus sekarang enggak. Agak gimana gitu." ucapnya.
" Belum siap, nunggu hati dulu."
timpalku.
" Yahhh, berbuat baik kok ditunda."
Katanya sambil berlalu.
Aku merasa tertampar dengan ucapannya.
***
Tidak terasa puasa tinggal 2 hari
lagi, itu artinya sebentar lagi umat muslim akan merayakan hari kemenangan.
Atmosfer di rumah malam ini berbeda, Ibu sedang sibuk memasak opor dan rendang,
sedangkan Kakak dan Adik sedang menata makanan kecil untuk Lebaran. Sedangkan
aku hanya menonton televisi.
Tiba-tiba Ayah masuk rumah tanpa
mengucapkan salam dan membuat kami tersentak
" Pak Robi meninggal!"
" Innalillahi wainna
illahirajiun." Serempak kami mengucapkannya.
" Beneran Yah? " tanya adikku.
" Iya," jawab Ayah singkat dan
bergegas berganti baju untuk melayat.
Ibu dan kakak mengikuti langkah Ayah dan
segera keluar rumah untuk melayat ke tetangga yang berjarak dua rumah. Aku dan
Adikku masih terdiam terpaku mendengar kabar tersebut.
" Padahal sebelum buka puasa tadi,
aku ngobrol sama Pak Robi mbak." Ucap Adikku masih tidak percaya kalau Pak
Robi sudah tiada.
" dan beliau masih tersenyum,
badannya pun masih segar bugar." tambahnya.
" dan kemarin aku juga masih sempet
nebeng beliau." aku menutup mata seolah tak percaya.
" cepet banget ya Mbak, beliau
dipanggil."
Bulu romaku bergidik seketika.
***
“
Pak Robi meninggal kenapa Bu? “ tanyaku begitu kudapati Ibu pulang melayat.
“ Beliau jatuh di depan rumah dan seketika meninggal.” Ucap Ibu.
“ Ya Allah..” hatiku berdesir
“ Lha tho memang gak ada yang tahu umur seseorang, barusan sehat
eh sekarang sudah dipanggil begitu saja.” Ibu menambahi.
“ Padahal Pak Robi orang baik ya Bu.” Kata Adikku yang lebih
banyak mengenal beliau.
“ ya, semua kegiatan kampung beliau yang handle, orangnya juga
gak neko-neko.”
Aku masih terdiam tak percaya, Entah kenapa aku merasa
sangat terpukul dengan peristiwa ini. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menggelitik
di hati, perasaan yang campur aduk tidak karuan.
“ Makanya jadi orang itu yang baik. Jangan suka menunda
kebaikan. Karena kita tidak tahu sampai kapan umur kita di dunia.”
Degh!!!!
Hatiku meratap, perkataan ibu persis seperti apa yang diucapkan
seorang teman beberapa waktu lalu. Seketika aku jadi teringat jilbab yang masih menjadi niat.
Mataku menatap kosong, pikiran dan hatiku riuh tidak terkontrol.
***
Sudah hampir satu jam, aku hanya mematutkan diriku di cermin.
Kupandangi wajah dan tubuhku, Kuresapi kata-kata Ibu “ Makanya jadi orang itu yang baik. Jangan suka menunda kebaikan. Karena
kita tidak tahu sampai kapan umur kita di dunia.”
Aku merasa Allah masih sayang kepadaku. Dia masih memberiku
waktu untuk berbuat sesuai dengan ajarannya. Dia masih mengijinkan aku menerima
hidayah-Nya. Aku membayangkan jika niat kebaikan mematuhi perintahnya hanya ada
dalam niat yang entah kapan terealisasi hanya karena kenikmatan duniawi yang
sementara.
Rasa bersalahku semakin bertambah tatkala menunggu menutupi hati
terlebih dahulu sebelum menutup aurat. Sampai kapanpun hati tidak akan siap
jika kita tidak mendekat. Sekarang aku tidak akan menyia-nyiakan hidayah yang
menghampiriku, aku akan memeluknya erat dan mendekapnya hangat.
Bismillahirahmanirahim
“ Ya Rabb, semoga apa
yang aku putuskan ini semakin mendekatkan aku dengan kebaikan dan hidayah-Mu.
Semoga apa yang aku putuskan ini menjauhkan aku dari hal-hal yang merusak Iman,
Islam dan Ikhsanku. Jagalah aku dengan jilbab ini, Istiqomahkan aku untuk terus
mengimaniMu.”
Dengan mantap, aku kenakan jilbab merah jambu yang sedari tadi
sudah dalam genggamanku. Kurapikan penampilanku dan kubulatkan tekadku.
Bergegas aku segera melangkah keluar rumah menuju kampus.
***
Itulah sedikit cerita pengalamanku saat mengenakan jilbab 5
tahun lalu, dimana hidayah itu datang di saat Bulan ramadhan dan Hari Jilbab Internasional. Mendekap Hidayah dan selalu berhusnudzon kepada Allah itu tidak akan
merugi. Awalnya saya takut ketika mengenakan jilbab, saya berpikir tidak bisa sebebas
dulu. Tapi bukankah jilbab itu memberi batasan yang bertanggungjawab atas
sebuah kebebasan?
Awalnya juga bimbang, jika berjilbab saya tidak memiliki pakaian
yang islami. Entah, seperti ada sebuah keajaiban, ketika saya hendak keluar
rumah menggunakan jilbab selalu saja ada pakaian islami di dalam lemari. Entah
itu pakaian lama yang sedikit dimodifikasi atau pakaian lama yang tidak
terpakai. Alhamdulillah masih bagus dan pantas :D
Dan saya merasa selalu ada rejeki untuk membeli beberapa pakaian
islami.
Subhanallah,
“Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang kamu
dustakan?” (QS Ar-Rahman 13)
Ibarat Air dan tempatnya, ketika air dimasukkan ke dalam suatu wadah maka bentuknyapun akan menyesuaikan. sama halnya dengan berjilbab, hati itu akan mengikuti begitu kita mantap berjilbab. Jadi buang jauh-jauh pikiran bahwa menjilbabi hati dulu sebelum menjilbabi aurat.
Happy International Hijab Solidarity Day
J