Sekarang segalanya tidak dapat ditebak
termasuk cuaca. Harusnya Bulan Mei sudah masuk ke musim kemarau namun masih
saja hujan menghujam dengan derainya. Orang-orang berlarian mencari tempat
untuk berteduh, tidak terbesit pikiran untuk membawa payung karena pagi tadi matahari
masih menampakkan ke-sangar-annya. Untung saja Risa sudah pulang sekolah,
sekarang dia sedang asyik mencampurkan warna-warna di palet kesayangannya.
Entah apa yang sedang dia gambar. Aku hanya memantaunya dari jauh. Aku paham
bahwa jika sedang menyelami dunianya, Risa tidak akan mengijinkan orang lain
masuk. Dia hanyut dan menikmati apa yang telah membawanya pada sebuah
kebahagiaan untuk dirinya. Ini adalah hari kedua di masa cutiku. Sambil
menunggu Risa menggambar, aku menghalau debu yang melekat di lemari menggunakan
kemoceng berbulu halus. Sebenarnya debunya tidak terlalu banyak karena Mbak
Mina rajin membersihkan bahkan hingga sela-sela. Deretan foto yang aku pajang
kebanyakan memuat gambarku dan Risa, dan ada juga gambar keluarga besar namun lagi-lagi
tidak ada foto Ayahnya.
“
Selesai sudah!” kegirangan Risa dipamerkan.
“
Risa menggambar apa?” tanyaku tetap diposisi awal.
Tangan
mungilnya mengatupkan bibirnya seolah memberikan isyarat bahwa Risa tidak akan
membeberkan gambar yang tengah dibuat. Dipandanginya berkali-kali sambil
tersenyum. Aku ikut tersenyum.
“
Risa, ibu punya sesuatu untukmu.”
“
Apa Bu?”
“
Bereskan dulu apa yang sedang Risa kerjakan dan bergegaslah cuci tangan, ibu
akan mempersiapkan di meja makan.”
Perintahku
dipahaminya benar-benar. Dia melakukan yang harus dilakukan. Gambarnya ditelungkupkan
terbalik agar aku tetap tidak dapat melihat gambarnya.
Terdengar
derit kursi ditarik, kini Risa siap dan aku lagi-lagi mengambil posisi di
hadapannya. Ah, selalu saja teduh jika aku menatap lekat matanya. Danau itu
masih saja luas dan menarikku untuk terus menyelaminya. Kubuka tudung saji dan
seloyang kecil kue lapis tengah tergolek manis.
“
Kue pelangi!” begitulah Risa menyebutnya.
“
Bukan, ini namanya kue lapis.” Aku membenarkan.
“
Tapi kenapa warnanya seperti pelangi, Bu?” dahinya berkernyit seolah sedang
berpikir. Ah, lucu sekali putri kecilku.
“
Ibu sengaja memberi warna seperti pelangi agar menarik.”
Kue
inilah yang semalam aku buat. Dengan bahan yang sederhana seperti gula, tepung
beras dan pewarna yang sengaja aku ciptakan sendiri. Warna merahnya aku ambil
dari buah naga, warna hijaunya dari daun suji, warna coklat dari coklat batang,
warna kuning dari wortel dan warna putih itu original. Asyik sekali
bereksperimen di tengah kedamaian malam. Tidak ada suara bising atau lirih lagu
yang mendayu. Sengaja, aku hanya membuat ukuran kecil sebagai eksperimen awal.
“
Ayo dicoba, katakan pada Ibu, apa rasa kue ini?” kataku.
Sebilah
pisau sudah siap untuk memotong kue lapis. Baru saja bagian runcing pisau
menyentuh permukaan kue lapis, Risa menahan.
“
Ibu, ini kan kue lapis. Jadi jangan dipotong. Ayo kita ambil selapis lapis.”
Ajaknya.
Aku
diam sejenak kemudian mengiyakan ajakannya.
Kuambilkan
selapis untuknya. Menikmati dengan cara ini membuat memoriku terbang ke masa
kecil dimana ibu sering membelikan aku sepotong kue lapis di pasar tradisional
setiap hari minggu. Kue lapis yang bagus akan mudah diambil per lapisnya.
Begitulah caraku makan, menguyah selapis demi selapis dan merasakan rasa per
lapisnya karena berbeda warna, aku pikir rasanya akan lain namun sama saja.
Dari itulah aku berusaha menciptakan rasa di setiap lapisannya dengan racikan
pewarna ala diriku.
“
Wah ini enak bu.” Risa menikmati lapisan pertama.
Potongan
demi potongan dimasukkan ke dalam mulut kecilnya. Dia sangat menikmati. Aku
lupa kapan terakhir kali seharian bersamanya, bahkan hari liburpun kadang
tersita dengan banyak kegiatan. Melihatnya melahap ku lapis buatanku tiba-tiba
terbesit sesuatu di pikiranku.
“
Besok ibu akan membuatkanmu kue lapis lagi.”
Dia mengangguk.
Hari
ketiga di masa cutiku, energi semakin leetup letup membuat kue lapis. Kini aku
tidak lagi menyajikan seloyang kecil namun kue lapis yang telah kubuat dengan ukuran
loyang kecil kusajikan menjadi tiga potong memanjang. Aku membayangkan dia
makan setiap lapisnya panjang dan mirip ular. Aku terkekeh.
“
Ini bentuk baru Bu?” tanyanya begitu melihat kue lapis dipotong memanjang.
“
Iya, agar kamu bisa makan seperti orang makan mie.”
Risa
terlihat begitu bahagia dan bersemangat untuk mencoba. Tangannya hendak
menggapai namun aku menangkisnya.
“
Tunggu dulu.”
Tangan
kecilnya ditarik kembali.
“
Kenapa Bu? Risa sudah cuci tangan kok.” Dia menjelaskan.
Aku
mengangguk dan tersenyum mengiyakan.
“
Ibu punya cara asyik makan kue lapis. Setiap selapis yang kamu makan harus
diikuti cerita Risa hari ini.” Sebuah ide yang aku dapatkan kemarin yang
membuatku tidak sabar untuk menyampaikan.
Risa
terdiam.
“
Perhatikan, ibu akan memberi contoh.” Kuambil lapisan teratas dan aku
mengulumnya di mulutku. Sembari menghabiskan lapisan memanjang itu aku
bercerita.
“
Hari ini sambil menunggumu pulang sekolah, Ibu membereskan kamar dan
membersihkan debu-debunya. Eh tiba-tiba ibu menemukan pensil warna di bawah
meja, Ibu tahu pasti ini milik Risa jadi ibu simpan.”
“
Oh iya? Itu pensil warnaku yang hilang, pantas saja aku mencarinya di sekolah.”
Matanya terbelalak begitu mengetahui pensil warnanya telah ditemukan.
“
Nah seperti itu. Selapis kue lapis berarti selapis cerita Risa hari ini.”
Ucapku menyimpulkan.
“
Ah, aku mengerti.” Tidak sabar dia mengambil lapisan berikutnya dan memulai
cerita.
“
Di sekolah tadi Bu Guru mengajarkan cara membuat layangan. Katanya agar
layangan bisa terbang harus ada angin. Kita bisa bermain di lapangan atau
halaman yang luas.”
“
Lalu terbuat dari apa layangan itu?” aku bertanyya balik.
“
Dari bambu atau kayu, ada benang dan ah aku lupa Bu. Minggu depan katanya kita
suruh mencoba.” Lapisan kue hampir habis.
“
Ibu apakah boleh ikut?”
“
Selesai! Kue lapisnya sudah habis jadi ibu tidak boleh bertanya. Sekarang
giliran ibu.”
Begitulah
seterusnya hingga kue lapis buatanku tandas dan tidak bersisa. Cerita, tawa,
bahagia menjadi pewarna manis hari ini. Tidak pernah rasanya memiliki waktu
yang berharga dan berkualitas. Sepertinya Risa bakat menjadi pendongeng.
Selapis kue lapis sangat mewakili harinya hari ini. Setelah puas bercerita
padaku, dia terlelap. Selama cuti aku selalu membuat kue lapis untuk dapat
merasakan seperti apa menjadi dia dan bagaimana di menghadapi harinya. Cutiku
hanya seminggu jadi akan kugunakan untuk Risa, dia harus merasakan bahwa aku
ada, aku ibunya dan selalu disampingnya.
Kue
lapis menjadi sebuah tradisiku bersama Risa bahkan ketika Mbak Mina sudah
kembali, dia ikut menjadi tim kue lapis. Kami sudah seperti keluarga. Begitulah
caraku mendekatkan diri dengan Risa. Agar tidak bosan dengan kue lapis maka
kumodifikasi dengan banyak hal. Seperti kataku menjadi ibu harus kreatif dan cerdas,
pintar memilih langkah yang baik dan menyenangkan. Sekarang tidak lagi setiap
hari namun tiga hari sekali karena kadang aku harus pulang malam sehingga
kasihan jika Risa harus menungguku sampai larut. Aku menggantinya dengan
sarapan pagi bersama, selalu aku sempatkan. Satu hal , kue lapis itu selalu
hasil buatan tanganku. Sampai Risa paham bahwa kue lapis buatan ibunya tidak
ada yang menandingi.
Ini
adalah bulan ketujuh kami melakukan ritual selapis kue lapis. Banyak cerita
yang aku dapatkan dari Risa, aku jadi semakin paham bahwa di sekolah dia punya
dua sahabat dan aku juga tahu jika kadang bekal yang dibawakannya tidak
dihabiskan kemudian dibagikan kepada sahabatnya. Aku seperti terserap ke dalam
dunia Risa yang membuat orang dewasa terlepas dari belenggu masalah di dunia
ini. Terjun bebas dan bermain sepuasmu sampai merasa lelah dan membentangkan
diri di tanah lapang kemudian terbang kembali bersama layang-layang. Aku
menikmati, aku bahagia, aku merasakan semua.
Aku
dan Risa belum menjamah kue lapis yang sudah aku persiapkan di dalam tudung
saji. Listrik masih padam sejak satu jam lalu. Kami duduk bersebelahan dan
tentu Mbak Mina ikut duduk namun seperti biasa, dia lebih suka lesehan di
bawah. Lilin menyala di hadapan kami. Kadang memang perlu adanya pemadaman
listrik agar kita bisa merasakan syahdunya sebuah kegelapan. Tidak selamanya
gelap adalah gelap. Ada sesuatu yang membuat kita merasa optimis dalam gelap.
Ada sebuah rasa syukur yang ingin kita luapkan. Beberapa menit kemudian listrik
nyala kembali. Dengan sigap Risa menuju ke meja makan. Aku tersenyum geli.
“
Ayo cepat.” Tangannya melambai mengajak semua duduk dan menyantap kue lapis.
Dia
sangat bersemangat dan sepertinya ada sesuatu yang ingin diceritakan.
“
Aku lapisan pertama!” Risa sudah ambil bagian. Kemudian dia bercerita bahwa
hari ini dia membantu guru mengumpulkan uang dari teman-temannya untuk
disumbangkan kepada Aira, temannya yang sakit dan tidak bisa masuk sekolah.
Uangnya terkumpul 10.000.
“
Bukan seberapa jumlahnya namun seberapa banyak yang peduli.” Kuusap kepala
Risa. Dia senang bukan main. Setelah Risa, kini giliranku kemudian Mbak Mina
dan di lapisan terakhir jatuh ke Risa lagi.
Dia
asyik mengunyah, kue lapisnya terus dikulum sedangkan aku dan Mbak Mina
menunggu ceritanya. Namun dia seperti lupa untuk bercerita atau sudah tidak ada
lagi yang harus diceritakan sehingga dia tenggelam di setiap kunyahan. Aku
hanya menatap. Menunggu dan setia menunggu.
“
Ibu.” Panggilnya pelan.
“
Iya.” Kudekatkan wajahku sehingga hanya beberapa centi di wajahnya.
“
Sekarang aku sudah merasakan seperti apa hangat.” Matanya berbinar mengakhiri
kunyahan terakhir. Kue lapis telah habis.
(tamat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar