Stuck! Aku kembali terjebak menjadi titik kecil di
tengah lautan benda yang dibeli dengan harga yang mahal, bukan karena
kebutuhan, seringnya dibeli karena gengsi. Jadi wajar jika body yang rajin dipoles itu selalu mengkilat. Bukan apa-apa namun
lagi-lagi tentang gengsi. Beberapa motor meliuk-liuk di antara mobil dan
angkot. Terkena debu, terpapar monoksida, beraroma asap namun tetap saja mereka
bisa melangkah maju dan tidak diam seperti aku yang tenggelam di balik kemudi.
Musik di mobilku sudah terlalu usang dan membuat telingaku memengkak karena
bosan. Berkali-kali aku menghela nafas pun tidak ada gunanya. Pernah
aku membaca bahwa sebenarnya orang Jakarta itu serba kreatif, selalu ada alternatif
yang ditawarkan untuk mengatasi masalah klise yang telah mengoyot. Mereka selalu punya cara memecah kebosanan menghadapi
macet yang tak berujung, mereka berdiri di pinggir jalan di jalur three in one
untuk membantu orang lain secara illegal dan bonusnya mereka merasakan kursi
empuk mobil mewah. Banyak hal yang bisa disebutkan jika ditelaah dengan
sungguh-sungguh.
Kulirik jarum jam di
tanganku, rasanya cepat sekali berputar berbeda dengan beberapa waktu silam
yang aku menganggap lebih lambat. Mungkin karena dulu ada hal yang begitu manis
sehingga tidak rela jika berlalu dengan tergesa-gesa.
“ Mbak, jangan
pulang dulu.” Headset sudah terpasang di kedua telingaku.
“ Duh Mbak, saya
terkena macet dan ini lebih parah dari yang saya bayangkan.”
Begitu ada celah, segera kutancap gas dan
memajukan mobilku.
“ Atau begini saja,
Mbak jangan pulang malam ini, bonus liburnya saya tambah deh sehari. Lumayan
kan bisa menemani anak Mbak di rumah.” Aku menawarkan solusi.
“ Besok pagi-pagi
saya antar ke stasiun. Tiket langsung saya pesankan sekarang ya.” Kemudian aku
menancap gas kembali namun hanya beberapa meter saja bisa aku lalui.
Setelah merentetkan alternatif
dan alasan akhirnya klik juga. Mbak Mina tidak jadi pulang kampung malam ini
karena di jam yang telah dijanjikan aku tidak bisa menepati. Kuambil gadgetku
dan membuka website kereta api, tanganku begitu cekatan dan tiket tereservasi.
Kembali lagi ke menu lain, aku tekan mobile banking untuk melakukan pembayaran.
Beres!
Jika sang penemu
gadget dan aplikasi ada di sekitar sini pasti sudah kuucapkan terima kasih atau
bahkan aku kirimkan brownies kukus untuknya, berkat penemuannya segalanya
semakin mudah meskipun di satu sisi sebenarnya aku merasa terjauhkan.
*****
“ Lhoh, katanya Mbak
mau pulang kampung?” konsentrasinya tetap pada kertas di hadapannya meskipun
pertanyaanya tertuju pada Mbak Mina.
“ Besok sajalah
sudah malam.” Mbak Mina duduk lesehan di dekat kursi Risa. Tidak beberapa lama
Risa mengikuti polah Mbak Mina.
“ Kenapa duduk di
bawah?” Tanya Mbak Mina.
“ Lha, Mbak Mina
kenapa duduk di bawah?” Risa balik bertanya namun konsentrasinya kini pada
palet yang telah menjadi ramuan warna untuk lukisannya.
Mbak Mina tidak
menjawab karena dia paham bahwa meladeni Nona kecil tidak berujung. Tangannya
meraih remote dan tombol angka dipencetnya bergantian.
“ Kenapa
dipencet-pencet terus? Kasihan kan tombolnya.” Sahut Risa
Mbak Mina melirik,
mata dan tangannya masih saja bersinergi dengan kertas namun bibirnya
meluncurkan pertanyaan yang seolah-olah Risa memiliki mata di bagian tubuh
lainnya.
Akhirnya layar
bergambar itu padam.
“ Kenapa malah
dimatikan?” kali ini Risa menoleh sebentar kemudian kembali ke titik
kosentrasinya lagi.
“ Tidak ada acara
yang bagus.”
Mbak Mina memandang
sekeliling. Malam belum terlalu larut tapi rumah kecil ini sudah terasa sepi.
Atmosfernya mirip dengan kampung halamannya. Di Salatiga, kota kecil yang
dikelilingi pengunungan itu menawarkan ketenangan, banyak sekali bangunan tua
khas Belanda yang menjadi corak Kota Salatiga. Kata beberapa orang, kota itu
memang dibangun Belanda sebagai tempat para pensiunan menikmati senjanya.
Udaranya dingin baik ketika malam ataupun siang, jadi wajar jika banyak
penginapan dari harga murah sampai mahal menjamur di kota itu. Saking
tenangnya, jam 8 malampun suasana kota itu sudah lengang.
Rumah ini memang
sengaja dibangun dengan ukuran kecil meskipun Mbak Mina tahu jika majikannya
memiliki pohon uang. Mbak Mina ingat sekali pertama kali kerja disini dia
bertanya kenapa Nyonya tidak membangun rumah bak istana saja biar Rissa bisa
berlari sepuasnya.
“ Saya membutuhkan
kedekatan dan kehangatan Mbak.” Begitulah Nyonya menjawab
Namun rasa dirasa
rumah mungil ini tidak memberikan apa yang diharapkan. Mbak Mina menarik nafas
panjang dan menghelanya perlahan.
“ Kenapa menghela
Mbak?” Risa kembali menyerbu.
Belum sempat Mbak
Mina menjawab, seorang perempuan berbalut blazer hitam tergopoh-gopoh masuk
rumah sambil menenteng high heel. Raut wajahnya berbeda sekali dengan pagi
tadi. Tidak ada lagi lipstick merah menghiasi bibir indahnya, tidak ada lagi
rambut yang rapi karena catokan dan tidak ada lagi senyum yang mengembang. Yang
ada hanya minyak yang rata di wajahnya, rambut acak-acakan dan muka lelah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar