Rabu, 18 Februari 2015

Selapis Kue Lapis (1)

Stuck! Aku kembali terjebak menjadi titik kecil di tengah lautan benda yang dibeli dengan harga yang mahal, bukan karena kebutuhan, seringnya dibeli karena gengsi. Jadi wajar jika body yang rajin dipoles itu selalu mengkilat. Bukan apa-apa namun lagi-lagi tentang gengsi. Beberapa motor meliuk-liuk di antara mobil dan angkot. Terkena debu, terpapar monoksida, beraroma asap namun tetap saja mereka bisa melangkah maju dan tidak diam seperti aku yang tenggelam di balik kemudi. Musik di mobilku sudah terlalu usang dan membuat telingaku memengkak karena bosan. Berkali-kali aku menghela nafas pun tidak ada gunanya. Pernah aku membaca bahwa sebenarnya orang Jakarta itu serba kreatif, selalu ada alternatif yang ditawarkan untuk mengatasi masalah klise yang telah mengoyot. Mereka selalu punya cara memecah kebosanan menghadapi macet yang tak berujung, mereka berdiri di pinggir jalan di jalur three in one untuk membantu orang lain secara illegal dan bonusnya mereka merasakan kursi empuk mobil mewah. Banyak hal yang bisa disebutkan jika ditelaah dengan sungguh-sungguh.
Kulirik jarum jam di tanganku, rasanya cepat sekali berputar berbeda dengan beberapa waktu silam yang aku menganggap lebih lambat. Mungkin karena dulu ada hal yang begitu manis sehingga tidak rela jika berlalu dengan tergesa-gesa.
“ Mbak, jangan pulang dulu.” Headset sudah terpasang di kedua telingaku.
“ Duh Mbak, saya terkena macet dan ini lebih parah dari yang saya bayangkan.”
Begitu ada celah, segera kutancap gas dan memajukan mobilku.
“ Atau begini saja, Mbak jangan pulang malam ini, bonus liburnya saya tambah deh sehari. Lumayan kan bisa menemani anak Mbak di rumah.” Aku menawarkan solusi.
“ Besok pagi-pagi saya antar ke stasiun. Tiket langsung saya pesankan sekarang ya.” Kemudian aku menancap gas kembali namun hanya beberapa meter saja bisa aku lalui.
Setelah merentetkan alternatif dan alasan akhirnya klik juga. Mbak Mina tidak jadi pulang kampung malam ini karena di jam yang telah dijanjikan aku tidak bisa menepati. Kuambil gadgetku dan membuka website kereta api, tanganku begitu cekatan dan tiket tereservasi. Kembali lagi ke menu lain, aku tekan mobile banking untuk melakukan pembayaran. Beres!
Jika sang penemu gadget dan aplikasi ada di sekitar sini pasti sudah kuucapkan terima kasih atau bahkan aku kirimkan brownies kukus untuknya, berkat penemuannya segalanya semakin mudah meskipun di satu sisi sebenarnya aku merasa terjauhkan.

 *****

“ Lhoh, katanya Mbak mau pulang kampung?” konsentrasinya tetap pada kertas di hadapannya meskipun pertanyaanya tertuju pada Mbak Mina.
“ Besok sajalah sudah malam.” Mbak Mina duduk lesehan di dekat kursi Risa. Tidak beberapa lama Risa mengikuti polah Mbak Mina.
“ Kenapa duduk di bawah?” Tanya Mbak Mina.
“ Lha, Mbak Mina kenapa duduk di bawah?” Risa balik bertanya namun konsentrasinya kini pada palet yang telah menjadi ramuan warna untuk lukisannya.
Mbak Mina tidak menjawab karena dia paham bahwa meladeni Nona kecil tidak berujung. Tangannya meraih remote dan tombol angka dipencetnya bergantian.
“ Kenapa dipencet-pencet terus? Kasihan kan tombolnya.” Sahut Risa
Mbak Mina melirik, mata dan tangannya masih saja bersinergi dengan kertas namun bibirnya meluncurkan pertanyaan yang seolah-olah Risa memiliki mata di bagian tubuh lainnya.
Akhirnya layar bergambar itu padam.
“ Kenapa malah dimatikan?” kali ini Risa menoleh sebentar kemudian kembali ke titik kosentrasinya lagi.
“ Tidak ada acara yang bagus.”
Mbak Mina memandang sekeliling. Malam belum terlalu larut tapi rumah kecil ini sudah terasa sepi. Atmosfernya mirip dengan kampung halamannya. Di Salatiga, kota kecil yang dikelilingi pengunungan itu menawarkan ketenangan, banyak sekali bangunan tua khas Belanda yang menjadi corak Kota Salatiga. Kata beberapa orang, kota itu memang dibangun Belanda sebagai tempat para pensiunan menikmati senjanya. Udaranya dingin baik ketika malam ataupun siang, jadi wajar jika banyak penginapan dari harga murah sampai mahal menjamur di kota itu. Saking tenangnya, jam 8 malampun suasana kota itu sudah lengang.
Rumah ini memang sengaja dibangun dengan ukuran kecil meskipun Mbak Mina tahu jika majikannya memiliki pohon uang. Mbak Mina ingat sekali pertama kali kerja disini dia bertanya kenapa Nyonya tidak membangun rumah bak istana saja biar Rissa bisa berlari sepuasnya.
“ Saya membutuhkan kedekatan dan kehangatan Mbak.” Begitulah Nyonya menjawab
Namun rasa dirasa rumah mungil ini tidak memberikan apa yang diharapkan. Mbak Mina menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan.
“ Kenapa menghela Mbak?” Risa kembali menyerbu.

Belum sempat Mbak Mina menjawab, seorang perempuan berbalut blazer hitam tergopoh-gopoh masuk rumah sambil menenteng high heel. Raut wajahnya berbeda sekali dengan pagi tadi. Tidak ada lagi lipstick merah menghiasi bibir indahnya, tidak ada lagi rambut yang rapi karena catokan dan tidak ada lagi senyum yang mengembang. Yang ada hanya minyak yang rata di wajahnya, rambut acak-acakan dan muka lelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar