Rabu, 18 Februari 2015

Selapis Kue Lapis (2)

Aku. Aku adalah birunya laut yang bebas menikmati hamparan langit sebagai teman hidup.
Cukup. Cukup menikmati dengan cara memandang dan sadar bahwa tidak akan bersatu.
Namun nyatanya lebih syahdu jika memang tidak bersatu

Aku. Aku adalah hijaunya pohon yang menjadi teman anak sungai.
Hanya menjadi penghias di tepi
Celaka jika kami bersatu karena anak sungai tidak menjadi anak sungai
Dan anak sungai tidak akan bermuara

Kumasukan kembali foto itu ke dalam laci dan aku meletakkannya di bagian terjauh terdalam agar tidak mudah dijangkau. Kupandangi putri semata wayangku yang begitu menikmati belaian malam. Sepertinya dia sedang bermimpi berlarian bersama rusa di lapang hijau yang luas. Hidungnya, dagunya, bibirnya khas duplikat dari ayahnya. Aku suka sekali memandangi Risa begitu dia terlelap. Ini caraku melumerkan lelahku sepanjang hari yang hanya diisi dengan angka, cashflow, target dan hal-hal yang tidak ingin kuingat. Wajah Risa teduh, matanya seperti danau yang jernih dan membebaskan aku untuk terjun ke dalamnya. Warna coklat muda matanya, gen keluargakulah yang menurunkannya. Rasanya melihat dia tumbuh seperti melihat sebuah kesempurnaan pelangi kala sang hujan reda.
Sudah 3 tahun ini aku berpisah dari Ayahnya Rissa, disaat usia putriku menginjak 3 tahun. Sebuah masa dimana Rissa sedang belajar tumbuh dan butuh teladan untuk bertahan di usia barunya. Tidak perlu aku menjabarkan karena apa kami berpisah, yang aku tahu sekarang Ayahnya telah memberikan saudara tiri untuk Risa. Aku tidak minta apapun selain Risa karena dia lebih dari apapun. Sengaja aku tidak melibatkan orang tuaku atau mertuaku untuk merawat Risa karena mereka sudah melepaskan kami dengan tanggung jawab sehingga sangat tidak pantas jika aku lancang mengganggu masa senja mereka.
            Setelah pagi-pagi buta mengantarkan Mbak Mina ke stasiun, beberapa menit aku termenung. Membayangkan apa yang akan aku lakukan selama Mbak Mina tidak di rumah. Beruntung aku bisa minta jatah cuti yang beberapa kali sebelumnya ditolak. Sebenarnya menjalani berlipat-lipat peran sudah menjadi keahlian para wanita dari mengurus rumah tangga sampai bekerja di luar rumah. Jadi bagi yang menebalkan stereotype wanita dengan dapur, sumur, dan kasur silakan merasakan seperti apa menjadi aku yang ternyata bisa bertahan dengan seabreg kerjaan di luar dan kerjaan di rumah. Sebelum Mbak Minah ikut bersamaku, aku melakukan semua sendiri dan nyatanya berhasil.
            Dapur telah menjadi teman baikku. Selain tanganku lincah menghitung angka-angka, tanganku juga mahir meracik bumbu-bumbu untuk disulap menjadi masakan lezat untuk keluarga. Aku punya rahasia, sebenarnya sejak kecil aku sangat membenci memasak. Asap kompor yang melekat di tubuh, warna dan aroma bumbu yang menghiasi jemariku, minyak yang meletik-letik membuatku enggan masuk ke dapur. Ibuku pun dulu tidak memaksaku untuk belajar memasak.
            “ Sesuatu yang datang dari diri sendiri itu jauh lebih baik.” Ucapnya. Hingga pada akhirnya pernikahan mengajarkanku seperti apa nikmatnya memasak. Melihat suami makan dengan lahap apa yang aku hidangkan memberikan kepuasan tersendiri dan melipatkan rasa cintaku pada keluarga yang sedang kubangun. Namun aku mematahkan tembok mantra para tetua bahwa suami akan betah di rumah jika istrinya pandai memasak. Mosi tidak percaya menyerangku bertubi-tubi, pada hakekatnya pernikahan tidak tergantung dari dapur dan wanitanya. Bagiku, pernikahan seperti sedang membangun kehidupan baru yang berisi orang-orang baru, sepasang sejoli itu masuk ke dalamnya dan semua belajar, bukan istri yang belajar masak untuk membuat suami betah di rumah namun suami juga harus belajar betah di rumah bukan karena masakan dan hengkang ke istri tetangga hanya karena aroma masakannya lebih sedap. Pernikahan itu menjaga. Betapa kerasnya dulu aku belajar memasak karena mantra para orang tua itu namun rupanya aku salah, memasak bukan sebuah mantra yang menyulap segalanya menjadi indah. Aku dan Ayahnya Risa tidak menemukan mantra itu.
            Minggu pagi kuhadiahi Risa dengan sepiring capcay panas. Cumi-cumi kesukaannya kusembunyikan dibalik sayur yang berwarna warni. Kuahnya kubuat agak kental dari biasanya. Roll telur mix bayam kusajikan disampingnya. Untuk Risa, aku berikan istimewa.
            “ Ibu, aku tidak ingin memakannya langsung.” Ujarnya.
            “ Lhoh kenapa?” kulepas celemekku dan segera kucuci tangan, bergegas aku hampiri Risa. Duduk di depannya menjadi tempat favoritku karena aku dapat memandang ekspresinya yang selalu tidak habis menawarkan kebahagiaan.
            “ Lihat saja, ini masih ada uapnya.” Jarinya menunjuk ke uap yang mengepul dari capcay yang memang baru saja aku angkat.
            “ Aduh, maafkan ibu.” Dengan sigap kukibaskan tanganku untuk menghilangkan uapnya.
            “ Tunggu 10 menit lagi ya, tapi jangan terlalu lama karena capcay lebih nikmat jika dimakan hangat-hangat.” Aku mengerlingkan mataku untuk menggodanya.
            Alih-alih tergoda, dia malah ikut mengibaskan tangannya untuk membantuku membuat capcay lebih dingin.
            Aku tertawa. Seperti inilah harusnya duniaku. Untuk Risa, untuk senyumnya.
            “ Ibu, apakah Ibu tidak ingin punya istana yang besar?” Dia bertanya dengan mulut penuh sayuran, belum habis dia mengunyah, garpu ditangan kirinya mengambil potongan roll telur.
            “ Mau dong.”
            Dia berusaha menelannya sebelum menimpaliku lagi.
            “ Kenapa ibu tidak membuatnya?” tanyanya lagi.
            “ Suatu hari nanti.” Jawabku singkat.
            Di usianya yang menginjak 6 tahun ini, Rissa begitu kritis bertanya apapun yang menurutnya butuh jawaban meskipun bagi orang dewasa tidak penting. Dia ingin mengenal dan memahami seperti apa isi dari dunia yang kelak akan menjadi tempatnya tumbuh. Gurunya pun kadang mengadu kewalahan. Tapi aku adalah seorang ibu, meskipun kantor telah menyita otakku untuk mendalami tentang keuangan dan perbankan namun disela-sela aku belajar parenting. Harus dipaksakan karena jika tidak aku akan mengorbankan masa emas Risa yang butuh bimbingan. Bagiku, aku adalah sekolah pertamanya dan harus menjadi guru hebatnya.
            “ Suatu hari itu kapan Bu?”
            “ Nanti kamu sudah dewasa.” Aku tersenyum menatapnya.
            “ Dewasa itu kapan?” pertanyaan khas anak-anak yang polos namun hati-hati untuk menjawab.
            “ Ketika kamu bisa seperti ibu.”
            Risa mengangguk-angguk.
            Sesekali saja Ayahnya menengok dia, namun di rumah dia sama sekali tidak pernah bertanya tentang sosok ayahnya. Mungkin dia paham perasaan ibunya yang sulit untuk menjawab jika rentetan pertanyaan diarahkan padaku.
            “ Ibu, kenapa membangun rumah yang kecil? Rumah teman Risa besar dan luas lho.” Persis pertanyaan yang diajukan Mbak Mina saat pertama datang.
            Gantian kini aku yang menelan capcay dulu sebelum menjawabnya.
            “ Agar kita bisa merasakan kehangatan karena kita hanya tinggal bertiga dengan Mbak Mina.”
            “ Kehangatan itu apa Bu?”
            “ Seperti capcay yang barusan kamu makan.”
            Dia diam sejenak untuk merasakan seperti apa hangat.
            “ Ibu.” Panggilnya lirih
            “ Iya.”
            “ Tapi selama ini aku tidak merasakan seperti apa hangat.”
            Bola matanya berkilat dan kutatap lekat-lekat untuk meyakinkan aku ada, aku di hadapnya.

****

            Alunan music country terdengar dari acara music di salah satu stasiun tivi. Mataku menatap layar bergambar itu namun pikiranku entah berkelana kemana. Ucapan Risa telah menggiringku ke sebuah tempat di tepi danau yang luas. Aku duduk sambil melempar pandangan ke segala arah. Dari tepi danau itu aku bisa melihat gunung yang menjulang agung. Udaranya sejuk dan hehijauan menjadi santapan mata. Namun riuh dan sangat mengganggu jiwaku. Lelah rasanya di tengah keriuhan di tepi danau yang seharusnya tenang. Mungkin itu yang dirasakan Risa.
            Aku telah menitipkan Risa pada malam. Sekarang dia mungkin kembali berlarian bersama rusa. Pekatnya malam meninabobokan putri kecilku dan rela menjadi penitip lelahnya dia. Ingin sekali rasanya menyusulnya dan merasakan seperti apa malam yang mengembalikan waktuku. Pikiranku kusut, aku sudah menduga masa ini akan datang dan pertanyaan ini akan meracaukan segalanya. Kesibukanku di bank menyita waktuku dengan Risa. Berangkat pagi pulang petang, meskipun aku selalu menyempatkan menjadi ibu yang baik namun aku rasa telingaku ini kurang mengenggam fungsi yaitu mendengar. Rupanya apa yang aku berikan belum sepenuhnya kuberikan.
            Beruntung aku punya Mbak Mina yang sigap menemani Risa tetapi aku tetaplah ibunya. Aku membayangkan jika aku tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan memperjuangkan mimpiku. Kehidupan tidak ada yang bisa menjamin kelak seperti apa. Menjadi cerdas dan berpengetahuan luas menjadi harga mati untukku dulu dan ketika sebuah lini masa perkawinan yang tidak aku harapkan itu hadir rupanya skakmatt bisa aku hindari. Harga matiku dulu tidak membuatku mati. Bermodal pendidikan dan pengetahuan, aku tetap bisa memberikan nafas untuk keluargaku tanpa sosok laki-laki. Kecerdasanku bisa aku tularkan pada putriku. Jangan sesekali percaya pada mantra orang tua yang mengatakan untuk apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi toh pada akhirnya menjadi istri. Perhatikan kata istri, terdiri dari lima huruf dan bukan dibaca babu.

            Mataku belum juga mau terpejam. Semakin malam, mataku seperti mendapatkan energi baru. Kusandarkan punggungku di sofa depan televisi, kutatap langit-langit dan dalam hitungan ketiga aku berdiri bergegas ke dapur. Mbak Mina sangat pintar, sebelum pulang isi dapur dipenuhi dengan kebutuhan. Dia paham aku akan menjadi penjaga rumah dan ada untuk Risa selama Mbak Mina pergi. Itulah alasanku tidak melepas Mbak Mina bahkan ketika saudaranya mengajak kerja di luar negeri dengan gaji jutaan rupiah. Kuamati berbagai isi dapur lalu kemudian aku mengambil dan meletakkan di meja makan. Beragam bahan aku campurkan, tanganku telaten nguleni adonan dan terus aku campurkan bahan. Otakku berputar bagaimana membuat sesuatu yang enak dan unik. Aku hanyaut dan terlalu asyik dengan kegiatan malamku sampai aku lupa di dunia ada benda bernama jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar