Aku. Aku adalah birunya laut yang bebas menikmati
hamparan langit sebagai teman hidup.
Cukup. Cukup menikmati dengan cara memandang dan sadar
bahwa tidak akan bersatu.
Namun nyatanya lebih syahdu jika memang tidak bersatu
Aku. Aku adalah hijaunya pohon yang menjadi teman anak
sungai.
Hanya menjadi penghias di tepi
Celaka jika kami bersatu karena anak sungai tidak
menjadi anak sungai
Dan anak sungai tidak akan bermuara
Kumasukan kembali
foto itu ke dalam laci dan aku meletakkannya di bagian terjauh terdalam agar
tidak mudah dijangkau. Kupandangi putri semata wayangku yang begitu menikmati
belaian malam. Sepertinya dia sedang bermimpi berlarian bersama rusa di lapang
hijau yang luas. Hidungnya, dagunya, bibirnya khas duplikat dari ayahnya. Aku suka
sekali memandangi Risa begitu dia terlelap. Ini caraku melumerkan lelahku
sepanjang hari yang hanya diisi dengan angka, cashflow, target dan hal-hal yang
tidak ingin kuingat. Wajah Risa teduh, matanya seperti danau yang jernih dan
membebaskan aku untuk terjun ke dalamnya. Warna coklat muda matanya, gen
keluargakulah yang menurunkannya. Rasanya melihat dia tumbuh seperti melihat
sebuah kesempurnaan pelangi kala sang hujan reda.
Sudah 3 tahun ini
aku berpisah dari Ayahnya Rissa, disaat usia putriku menginjak 3 tahun. Sebuah
masa dimana Rissa sedang belajar tumbuh dan butuh teladan untuk bertahan di
usia barunya. Tidak perlu aku menjabarkan karena apa kami berpisah, yang aku
tahu sekarang Ayahnya telah memberikan saudara tiri untuk Risa. Aku tidak minta
apapun selain Risa karena dia lebih dari apapun. Sengaja aku tidak melibatkan
orang tuaku atau mertuaku untuk merawat Risa karena mereka sudah melepaskan
kami dengan tanggung jawab sehingga sangat tidak pantas jika aku lancang
mengganggu masa senja mereka.
Setelah
pagi-pagi buta mengantarkan Mbak Mina ke stasiun, beberapa menit aku termenung.
Membayangkan apa yang akan aku lakukan selama Mbak Mina tidak di rumah.
Beruntung aku bisa minta jatah cuti yang beberapa kali sebelumnya ditolak. Sebenarnya
menjalani berlipat-lipat peran sudah menjadi keahlian para wanita dari mengurus
rumah tangga sampai bekerja di luar rumah. Jadi bagi yang menebalkan stereotype
wanita dengan dapur, sumur, dan kasur silakan merasakan seperti apa menjadi aku
yang ternyata bisa bertahan dengan seabreg kerjaan di luar dan kerjaan di
rumah. Sebelum Mbak Minah ikut bersamaku, aku melakukan semua sendiri dan
nyatanya berhasil.
Dapur
telah menjadi teman baikku. Selain tanganku lincah menghitung angka-angka,
tanganku juga mahir meracik bumbu-bumbu untuk disulap menjadi masakan lezat
untuk keluarga. Aku punya rahasia, sebenarnya sejak kecil aku sangat membenci
memasak. Asap kompor yang melekat di tubuh, warna dan aroma bumbu yang
menghiasi jemariku, minyak yang meletik-letik membuatku enggan masuk ke dapur.
Ibuku pun dulu tidak memaksaku untuk belajar memasak.
“
Sesuatu yang datang dari diri sendiri itu jauh lebih baik.” Ucapnya. Hingga
pada akhirnya pernikahan mengajarkanku seperti apa nikmatnya memasak. Melihat
suami makan dengan lahap apa yang aku hidangkan memberikan kepuasan tersendiri
dan melipatkan rasa cintaku pada keluarga yang sedang kubangun. Namun aku
mematahkan tembok mantra para tetua bahwa suami akan betah di rumah jika
istrinya pandai memasak. Mosi tidak percaya menyerangku bertubi-tubi, pada
hakekatnya pernikahan tidak tergantung dari dapur dan wanitanya. Bagiku,
pernikahan seperti sedang membangun kehidupan baru yang berisi orang-orang
baru, sepasang sejoli itu masuk ke dalamnya dan semua belajar, bukan istri yang
belajar masak untuk membuat suami betah di rumah namun suami juga harus belajar
betah di rumah bukan karena masakan dan hengkang ke istri tetangga hanya karena
aroma masakannya lebih sedap. Pernikahan itu menjaga. Betapa kerasnya dulu aku
belajar memasak karena mantra para orang tua itu namun rupanya aku salah,
memasak bukan sebuah mantra yang menyulap segalanya menjadi indah. Aku dan
Ayahnya Risa tidak menemukan mantra itu.
Minggu
pagi kuhadiahi Risa dengan sepiring capcay panas. Cumi-cumi kesukaannya
kusembunyikan dibalik sayur yang berwarna warni. Kuahnya kubuat agak kental
dari biasanya. Roll telur mix bayam kusajikan disampingnya. Untuk Risa, aku
berikan istimewa.
“
Ibu, aku tidak ingin memakannya langsung.” Ujarnya.
“
Lhoh kenapa?” kulepas celemekku dan segera kucuci tangan, bergegas aku hampiri
Risa. Duduk di depannya menjadi tempat favoritku karena aku dapat memandang
ekspresinya yang selalu tidak habis menawarkan kebahagiaan.
“
Lihat saja, ini masih ada uapnya.” Jarinya menunjuk ke uap yang mengepul dari
capcay yang memang baru saja aku angkat.
“
Aduh, maafkan ibu.” Dengan sigap kukibaskan tanganku untuk menghilangkan
uapnya.
“
Tunggu 10 menit lagi ya, tapi jangan terlalu lama karena capcay lebih nikmat
jika dimakan hangat-hangat.” Aku mengerlingkan mataku untuk menggodanya.
Alih-alih
tergoda, dia malah ikut mengibaskan tangannya untuk membantuku membuat capcay
lebih dingin.
Aku
tertawa. Seperti inilah harusnya duniaku. Untuk Risa, untuk senyumnya.
“
Ibu, apakah Ibu tidak ingin punya istana yang besar?” Dia bertanya dengan mulut
penuh sayuran, belum habis dia mengunyah, garpu ditangan kirinya mengambil
potongan roll telur.
“
Mau dong.”
Dia
berusaha menelannya sebelum menimpaliku lagi.
“
Kenapa ibu tidak membuatnya?” tanyanya lagi.
“
Suatu hari nanti.” Jawabku singkat.
Di
usianya yang menginjak 6 tahun ini, Rissa begitu kritis bertanya apapun yang
menurutnya butuh jawaban meskipun bagi orang dewasa tidak penting. Dia ingin
mengenal dan memahami seperti apa isi dari dunia yang kelak akan menjadi
tempatnya tumbuh. Gurunya pun kadang mengadu kewalahan. Tapi aku adalah seorang
ibu, meskipun kantor telah menyita otakku untuk mendalami tentang keuangan dan
perbankan namun disela-sela aku belajar parenting. Harus dipaksakan karena jika
tidak aku akan mengorbankan masa emas Risa yang butuh bimbingan. Bagiku, aku
adalah sekolah pertamanya dan harus menjadi guru hebatnya.
“
Suatu hari itu kapan Bu?”
“
Nanti kamu sudah dewasa.” Aku tersenyum menatapnya.
“
Dewasa itu kapan?” pertanyaan khas anak-anak yang polos namun hati-hati untuk
menjawab.
“
Ketika kamu bisa seperti ibu.”
Risa
mengangguk-angguk.
Sesekali
saja Ayahnya menengok dia, namun di rumah dia sama sekali tidak pernah bertanya
tentang sosok ayahnya. Mungkin dia paham perasaan ibunya yang sulit untuk menjawab
jika rentetan pertanyaan diarahkan padaku.
“
Ibu, kenapa membangun rumah yang kecil? Rumah teman Risa besar dan luas lho.”
Persis pertanyaan yang diajukan Mbak Mina saat pertama datang.
Gantian
kini aku yang menelan capcay dulu sebelum menjawabnya.
“
Agar kita bisa merasakan kehangatan karena kita hanya tinggal bertiga dengan
Mbak Mina.”
“
Kehangatan itu apa Bu?”
“
Seperti capcay yang barusan kamu makan.”
Dia
diam sejenak untuk merasakan seperti apa hangat.
“
Ibu.” Panggilnya lirih
“
Iya.”
“
Tapi selama ini aku tidak merasakan seperti apa hangat.”
Bola
matanya berkilat dan kutatap lekat-lekat untuk meyakinkan aku ada, aku di
hadapnya.
****
Alunan
music country terdengar dari acara music di salah satu stasiun tivi. Mataku
menatap layar bergambar itu namun pikiranku entah berkelana kemana. Ucapan Risa
telah menggiringku ke sebuah tempat di tepi danau yang luas. Aku duduk sambil
melempar pandangan ke segala arah. Dari tepi danau itu aku bisa melihat gunung
yang menjulang agung. Udaranya sejuk dan hehijauan menjadi santapan mata. Namun
riuh dan sangat mengganggu jiwaku. Lelah rasanya di tengah keriuhan di tepi
danau yang seharusnya tenang. Mungkin itu yang dirasakan Risa.
Aku
telah menitipkan Risa pada malam. Sekarang dia mungkin kembali berlarian
bersama rusa. Pekatnya malam meninabobokan putri kecilku dan rela menjadi
penitip lelahnya dia. Ingin sekali rasanya menyusulnya dan merasakan seperti
apa malam yang mengembalikan waktuku. Pikiranku kusut, aku sudah menduga masa
ini akan datang dan pertanyaan ini akan meracaukan segalanya. Kesibukanku di
bank menyita waktuku dengan Risa. Berangkat pagi pulang petang, meskipun aku
selalu menyempatkan menjadi ibu yang baik namun aku rasa telingaku ini kurang
mengenggam fungsi yaitu mendengar. Rupanya apa yang aku berikan belum
sepenuhnya kuberikan.
Beruntung
aku punya Mbak Mina yang sigap menemani Risa tetapi aku tetaplah ibunya. Aku
membayangkan jika aku tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan memperjuangkan
mimpiku. Kehidupan tidak ada yang bisa menjamin kelak seperti apa. Menjadi
cerdas dan berpengetahuan luas menjadi harga mati untukku dulu dan ketika
sebuah lini masa perkawinan yang tidak aku harapkan itu hadir rupanya skakmatt
bisa aku hindari. Harga matiku dulu tidak membuatku mati. Bermodal pendidikan
dan pengetahuan, aku tetap bisa memberikan nafas untuk keluargaku tanpa sosok
laki-laki. Kecerdasanku bisa aku tularkan pada putriku. Jangan sesekali percaya
pada mantra orang tua yang mengatakan untuk apa anak perempuan sekolah
tinggi-tinggi toh pada akhirnya menjadi istri. Perhatikan kata istri, terdiri
dari lima huruf dan bukan dibaca babu.
Mataku
belum juga mau terpejam. Semakin malam, mataku seperti mendapatkan energi baru.
Kusandarkan punggungku di sofa depan televisi, kutatap langit-langit dan dalam
hitungan ketiga aku berdiri bergegas ke dapur. Mbak Mina sangat pintar, sebelum
pulang isi dapur dipenuhi dengan kebutuhan. Dia paham aku akan menjadi penjaga
rumah dan ada untuk Risa selama Mbak Mina pergi. Itulah alasanku tidak melepas
Mbak Mina bahkan ketika saudaranya mengajak kerja di luar negeri dengan gaji
jutaan rupiah. Kuamati berbagai isi dapur lalu kemudian aku mengambil dan
meletakkan di meja makan. Beragam bahan aku campurkan, tanganku telaten nguleni adonan dan terus aku campurkan
bahan. Otakku berputar bagaimana membuat sesuatu yang enak dan unik. Aku
hanyaut dan terlalu asyik dengan kegiatan malamku sampai aku lupa di dunia ada
benda bernama jam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar