Malam ini aku putuskan hanya duduk di teras
sebuah rumah yang sangat sederhana, rumah yang hanya berdinding dan berlantai
kayu, rumah yang memiliki cukup banyak celah sehingga wajar jika malam hari
terasa sangat dingin. Udara malam dengan mudah menyusup lewat sela-sela dinding
kayu yang tidak berhimpit.
Tidak ada listrik, yang kutemui hanya
secercah cahaya dari sebuah lampu darurat yang hanya bisa bertahan beberapa
jam.
Gelap membungkus malam ku kali ini, namun
ada yang berbeda dari kegelapan malam ini. Gelap yang mendamaikan. Aku merasa
dekat dengan kegelapan, kupandangi langit yang seakan-akan tidak ada batas dengan
bumi. Semua menyatu, bintang-bintang bertaburan tidak beraturan. Cahayanya
berkelap-kelip begitu indahnya. Aku ibaratkan ini seperti ketombe yang begitu
banyak di rambut yang hitam. Mulutku tidak berhenti berkomat-kamit merapal
lafas kekaguman pada kebesaran Tuhan. Detik itu juga, ingin kuceritakan kepada
dunia tentang indahnya langit malam ini. Aku yakin orang-orang yang hidup di
tengah hiruk pikuk kota akan merasa iri padaku karena mereka tidak mendapati
pemandangan yang luar biasa seperti ini. Bahkan ketika kutuliskan di
lembaran-lembaran kertas, aku akan kehabisan aksara untuk menceritakannya.
Indah, begitu indah dan sangat indah. Ini kali pertama aku menyaksikan taburan
bintang yang begitu dekat dan sekarang aku tahu kenapa penduduk di desa ini tidak
pernah mau meninggalkan tempat ini meskipun tidak pernah sekalipun listrik
mengaliri desa ini. Karena tanpa listrikpun, desa ini begitu benderang dan
bercahaya.
(Suatu Malam di Desa Cigumentong)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar