Senin, 09 Desember 2013

Momok “ Sakit” Di Perbatasan



Mungkin saja ini sebuah wacana yang sudah sering digulirkan media atau sekedar mendengar dari mulut ke mulut. Namun mengalami akan jauh menimbulkan mosi percaya dibandingkan hanya melihat atau mendengar.
Pulau Rupat, pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, terletak di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Memerlukan waktu 7 jam menggunakan travel menuju ke Dumai dan kembali naik speedboat untuk menyebrang ke pulau ini. Frekuensi speedboat dari Dumai hanya satu kali dalam sehari. Karena jauhnya akses menuju Rupat, orang sering menyebut daerah pelosok yang masih tertinggal, meskipun kenyataannya paparan negara tetangga jauh lebih cepat masuk dan terserap oleh masyarakat pulau termasuk urusan kesehatan.
Sarana dan prasarana lengkap tidak akan ditemui di pulau perbatasan ini. Bukan hanya bank namun rumah sakit juga belum diperhatikan keberadaannya di sini. Puskesmas adalah satu-satunya pelayanan kesehatan terdepan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat di Rupat. Letaknya di kecamatan dan rata-rata ditempuh kurang lebih satu jam dari desa manapun di luar pusat kecamatan, oleh karena itu puskesmas pembantu dibangun tersebar di desa-desa lain meskipun pengelolaannya tetap kurang maksimal bahkan ada yang tidak digunakan. Puskesmas-nya hanya menjadi sebuah bangunan yang tak berpenghuni.
Puskesmas induk di kecamatan tergolong cukup baik meskipun fasilitas masih minim termasuk sumber daya manusianya. Sumber daya manusia di bidang kesehatan di puskesmas induk masih rendah, sebagian besar adalah masyarakat asli yang sekolah di luar kemudian mengabdikan diri kembali di kampung asalnya. Misal untuk bagian pelayanan hanya ada satu orang sehingga pemandangan antri di hari kerja bukan sesuatu yang asing. Beberapa tahun terakhir rupanya pemerintah berbaik hati melengkapi sarana puskesmas kecamatan dengan Fasilitas Rawat Inap 24 Jam meskipun masih dalam versi “daerah”. Keberadaan fasilitas ini sangat membantu masyarakat Pulau Rupat yang mendadak sakit dan tidak bisa menunggu speedboat menuju kota untuk berobat. Setidaknya puskesmas tetap menjadi pelayanan primer bagi masyarakat rupat untuk mengatasi masalah kesehatan. Mobil ambulance yang dimiliki puskesmas juga terhitung siaga baik membantu masyarakat yang sakit atau tidak sakit, maklum saja hanya segelintir orang yang memiliki kendaraan roda empat itupun sejenis pick-up mengangkut pasir atau ojol (getah karet). Hampir semua dokter berdomisili di kecamatan, selain jarak yang dekat dengan puskesmas induk, akses menuju kota lebih mudah sehingga pasokan obat bisa terkendali. Beberapa dokter juga membuka praktek pribadi selain mengabdi di puskesmas.
Keberadaan puskesmas induk rupanya tidak menggambarkan puskesmas pembantu di desa lain. Sebuah pengalaman sakit mengantarkan saya melihat kondisi sesungguhnya dari sebuah pelayanan kesehatan. Di bulan ketiga menginjakkan kaki di Pulau Rupat, tubuh saya drop dan tidak mampu lagi untuk minum obat warung. Saya mendatangi puskesmas, setelah lama menunggu rupanya tidak ada dokter yang datang sehingga asisten dokter yang notabene seorang perawat menggantikan kedudukan dokter untuk mengobati pasien. Setelah itu saya diminta pembayaran atas harga obat. Saya maklum jika harus membayar karena pendatang namun harga obat yang diminta tidak wajar. Obat generik menjadi pilihan saya untuk mengganti obat yang berharga mahal itu. Rupanya memang mereka mempunyai stok, mengapa tidak ditawarkan sejak tadi? Seharusnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak sembrono seperti itu. Ironis. Tanpa bertanya kemampuan masyarakatnya, tenaga kesehatan menodong dengan harga yang lumayan besar bagi masyarakat. Ketika saya minta obat generik saja, tenaga kesehatan justru menghalangi katanya penderita yang minum obat generik akan lama sembuhnya. Siapapun masyarakat yang sedang sakit dan mendapat jawaban seperti itu pasti akan menolak kemudian cepat-cepat mengambil obat berharga mahal yang katanya lebih manjur. Ternyata pelayanan primer itu ditumpangi kepentingan pribadi sehingga tidak ada lagi yang namanya bebas biaya. Pada akhirnya sistem tawar menawar menjadi pemecahannya.
Masyarakat kecewa karena jarangnya kehadiran dokter dan tentu pelayanan yang tidak memuaskan. Suntik adalah cara yang paling banyak dilakukan tenaga kesehatan disana untuk menyembuhkan sakit sekalipun untuk menurunkan demam, selalu saja ada penawaran yang disampaikan kepada penderita sakit. Itu menjadi pengalaman baru bagi saya karena di kota jarang ditemui dokter, perawat dan bidan yang melakukan suntik. Pernah sekali, saya tidak sanggup lagi untuk beranjak dan kondisi tubuh sudah terkulai lemas, sangat tidak memungkinkan menyebrang ke Dumai untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang jauh lebih baik, akhirnya keluarga angkat memanggil dokter kecamatan untuk datang ke rumah dan rupanya lagi-lagi perawat yang datang. Dia pun juga mengeluarkan jurus suntik agar sakit saya cepat sembuh.
Kenyataan pelayanan kesehatan primer yang mengecewakan seperti itu menebalkan mosi tidak percaya masyarakat pada pengobatan medis di Pulau Rupat bahkan di Indonesia. Sakit menjadi sebuah momok yang sangat tidak diharapkan kehadirannya karena mengingat pengobatan yang tidak hanya menguras materi tetapi juga non materi. Sampai sekarang ramuan atau tradisi penyembuh sakit masih digunakan masyarakat Rupat, sebagai contoh tetome, sebuah tradisi menyembuhkan sakit dengan kunyit yang dibalut kapur kemudian diberi mantra dan dioleskan ke seluruh tubuh. Dalam beberapa hari mereka akan sembuh dari sakit. Mereka percaya bahwa tetome bisa mengusir “pembawa” sakit. Saya juga menjadi salah satu orang yang “dipaksa” mengikuti tradisi tetome karena pengobatan medis yang tak kunjung membuahkan hasil.
Sedangkan bagi masyarakat yang masih percaya pengobatan medis namun tidak mengadukan sakitnya ke puskesmas desa, mereka lebih suka pergi ke pelayanan kesehatan di negeri tetangga, Malaysia. Jarak yang lebih dekat daripada ke daratan Sumatera membuat mereka mempercayakan penyakitnya di rumah sakit terdekat yang berada di Melaka. Anggapan mereka bahwa harga yang dikeluarkan menuju Melaka sama dengan ke Pekanbaru dan lagi-lagi anggapan sistem pelayanan kesehatan dan pengobatan di luar negeri jauh lebih bagus dibanding di negaranya sendiri. Dua hal yang sama harganya namun jelas berbeda harga pelayanannya. Ini adalah realitas yang menyakitkan bagi dunia kesehatan.
Tidak selamanya menyalahkan masyarakat untuk sebuah alternatif penyelesaian masalah. Hal yang sekarang dilakukan masyarakat adalah buah dari ke-tidak-terpenuhinya hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Dan tidak selamanya menyalahkan tenaga kesehatan, ada banyak komponen yang harus diperbaiki untuk menuju pelayanan kesehatan yang berkualitas. Beberapa hal seperti : Perbaikan sistem pelayanan kesehatan harus dilakukan dan berbasis masyarakat. Persebaran tenaga kesehatan (tidak hanya dokter dan perawat) juga harus dilakukan secara merata, seperti contoh di Pulau Rupat hampir semua tinggal di pusat kecamatan dan perjalanan panjang dengan kondisi jalan yang buruk membuat dokter sulit menjangkau desa-desa. Praktek pelayanan kesehatan memang memerlukan orang-orang yang tulus memberikan ke-ber-manfaatan kepada orang lain tanpa pamrih. Selain itu sistem pengawasan terhadap pelayanan kesehatan itu sendiri juga tidak boleh diabaikan karena tanpa adanya pengawasan maka tidak akan ada evaluasi dan monitoring. Memang harus ada suatu perubahan untuk mencapai tahap yang jauh lebih baik sekalipun itu adalah hal yang kecil.

1 komentar:

  1. Waah... baarakallah, Mochie ^_^
    Tema tulisan kita sama, yaa....
    Yap! Semoga cerita kita masuk dalam antologi buku kesehatan ini...

    BalasHapus