Mungkin saja ini sebuah wacana yang sudah sering digulirkan media atau sekedar
mendengar dari mulut ke mulut. Namun mengalami akan jauh menimbulkan mosi
percaya dibandingkan hanya melihat atau mendengar.
Pulau
Rupat, pulau perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, terletak di Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau. Memerlukan waktu 7 jam menggunakan travel menuju ke
Dumai dan kembali naik speedboat untuk menyebrang ke pulau ini. Frekuensi
speedboat dari Dumai hanya satu kali dalam sehari. Karena jauhnya akses menuju
Rupat, orang sering menyebut daerah pelosok yang masih tertinggal, meskipun
kenyataannya paparan negara tetangga jauh lebih cepat masuk dan terserap oleh
masyarakat pulau termasuk urusan kesehatan.
Sarana
dan prasarana lengkap tidak akan ditemui di pulau perbatasan ini. Bukan hanya
bank namun rumah sakit juga belum diperhatikan keberadaannya di sini. Puskesmas
adalah satu-satunya pelayanan kesehatan terdepan untuk mengatasi masalah
kesehatan masyarakat di Rupat. Letaknya di kecamatan dan rata-rata ditempuh
kurang lebih satu jam dari desa manapun di luar pusat kecamatan, oleh karena
itu puskesmas pembantu dibangun tersebar di desa-desa lain meskipun
pengelolaannya tetap kurang maksimal bahkan ada yang tidak digunakan.
Puskesmas-nya hanya menjadi sebuah bangunan yang tak berpenghuni.
Puskesmas
induk di kecamatan tergolong cukup baik meskipun fasilitas masih minim termasuk
sumber daya manusianya. Sumber daya manusia di bidang kesehatan di puskesmas
induk masih rendah, sebagian besar adalah masyarakat asli yang sekolah di luar
kemudian mengabdikan diri kembali di kampung asalnya. Misal untuk bagian
pelayanan hanya ada satu orang sehingga pemandangan antri di hari kerja bukan
sesuatu yang asing. Beberapa tahun terakhir rupanya pemerintah berbaik hati
melengkapi sarana puskesmas kecamatan dengan Fasilitas
Rawat Inap 24 Jam meskipun
masih dalam versi “daerah”. Keberadaan fasilitas ini sangat membantu masyarakat
Pulau Rupat yang mendadak sakit dan tidak bisa menunggu speedboat menuju kota
untuk berobat. Setidaknya puskesmas tetap menjadi pelayanan primer bagi
masyarakat rupat untuk mengatasi masalah kesehatan. Mobil ambulance yang dimiliki puskesmas juga terhitung
siaga baik membantu masyarakat yang sakit atau tidak sakit, maklum saja hanya
segelintir orang yang memiliki kendaraan roda empat itupun sejenis pick-up mengangkut pasir atau ojol (getah
karet). Hampir semua dokter berdomisili di kecamatan, selain jarak yang dekat
dengan puskesmas induk, akses menuju kota lebih mudah sehingga pasokan obat
bisa terkendali. Beberapa dokter juga membuka praktek pribadi selain mengabdi
di puskesmas.
Keberadaan
puskesmas induk rupanya tidak menggambarkan puskesmas pembantu di desa lain.
Sebuah pengalaman sakit mengantarkan saya melihat kondisi sesungguhnya dari
sebuah pelayanan kesehatan. Di bulan ketiga menginjakkan kaki di Pulau Rupat,
tubuh saya drop dan tidak mampu lagi untuk minum obat warung. Saya mendatangi
puskesmas, setelah lama menunggu rupanya tidak ada dokter yang datang sehingga
asisten dokter yang notabene seorang perawat menggantikan kedudukan dokter
untuk mengobati pasien. Setelah itu saya diminta pembayaran atas harga obat.
Saya maklum jika harus membayar karena pendatang namun harga obat yang diminta
tidak wajar. Obat generik menjadi pilihan saya untuk mengganti obat yang
berharga mahal itu. Rupanya memang mereka mempunyai stok, mengapa tidak
ditawarkan sejak tadi? Seharusnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak
sembrono seperti itu. Ironis. Tanpa bertanya kemampuan masyarakatnya, tenaga
kesehatan menodong dengan harga yang lumayan besar bagi masyarakat. Ketika saya
minta obat generik saja, tenaga kesehatan justru menghalangi katanya penderita
yang minum obat generik akan lama sembuhnya. Siapapun masyarakat yang sedang
sakit dan mendapat jawaban seperti itu pasti akan menolak kemudian cepat-cepat
mengambil obat berharga mahal yang katanya lebih manjur. Ternyata pelayanan
primer itu ditumpangi kepentingan pribadi sehingga tidak ada lagi yang namanya
bebas biaya. Pada akhirnya sistem tawar menawar menjadi pemecahannya.
Masyarakat
kecewa karena jarangnya kehadiran dokter dan tentu pelayanan yang tidak
memuaskan. Suntik adalah cara yang paling banyak dilakukan tenaga kesehatan
disana untuk menyembuhkan sakit sekalipun untuk menurunkan demam, selalu saja
ada penawaran yang disampaikan kepada penderita sakit. Itu menjadi pengalaman
baru bagi saya karena di kota jarang ditemui dokter, perawat dan bidan yang
melakukan suntik. Pernah sekali, saya tidak sanggup lagi untuk beranjak dan
kondisi tubuh sudah terkulai lemas, sangat tidak memungkinkan menyebrang ke
Dumai untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang jauh lebih baik, akhirnya
keluarga angkat memanggil dokter kecamatan untuk datang ke rumah dan rupanya
lagi-lagi perawat yang datang. Dia pun juga mengeluarkan jurus suntik agar
sakit saya cepat sembuh.
Kenyataan
pelayanan kesehatan primer yang mengecewakan seperti itu menebalkan mosi tidak
percaya masyarakat pada pengobatan medis di Pulau Rupat bahkan di Indonesia.
Sakit menjadi sebuah momok yang sangat tidak diharapkan kehadirannya karena
mengingat pengobatan yang tidak hanya menguras materi tetapi juga non materi.
Sampai sekarang ramuan atau tradisi penyembuh sakit masih digunakan masyarakat
Rupat, sebagai contoh tetome,
sebuah tradisi menyembuhkan sakit dengan kunyit yang dibalut kapur kemudian
diberi mantra dan dioleskan ke seluruh tubuh. Dalam beberapa hari mereka akan
sembuh dari sakit. Mereka percaya bahwa tetome bisa mengusir “pembawa” sakit.
Saya juga menjadi salah satu orang yang “dipaksa” mengikuti tradisi tetome karena pengobatan medis yang tak
kunjung membuahkan hasil.
Sedangkan
bagi masyarakat yang masih percaya pengobatan medis namun tidak mengadukan
sakitnya ke puskesmas desa, mereka lebih suka pergi ke pelayanan kesehatan di
negeri tetangga, Malaysia. Jarak yang lebih dekat daripada ke daratan Sumatera
membuat mereka mempercayakan penyakitnya di rumah sakit terdekat yang berada di
Melaka. Anggapan mereka bahwa harga yang dikeluarkan menuju Melaka sama dengan
ke Pekanbaru dan lagi-lagi anggapan sistem pelayanan kesehatan dan pengobatan
di luar negeri jauh lebih bagus dibanding di negaranya sendiri. Dua hal yang
sama harganya namun jelas berbeda harga pelayanannya. Ini adalah realitas yang
menyakitkan bagi dunia kesehatan.
Tidak
selamanya menyalahkan masyarakat untuk sebuah alternatif penyelesaian masalah.
Hal yang sekarang dilakukan masyarakat adalah buah dari ke-tidak-terpenuhinya
hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Dan tidak
selamanya menyalahkan tenaga kesehatan, ada banyak komponen yang harus
diperbaiki untuk menuju pelayanan kesehatan yang berkualitas. Beberapa hal
seperti : Perbaikan sistem pelayanan kesehatan harus dilakukan dan berbasis
masyarakat. Persebaran tenaga kesehatan (tidak hanya dokter dan perawat) juga
harus dilakukan secara merata, seperti contoh di Pulau Rupat hampir semua
tinggal di pusat kecamatan dan perjalanan panjang dengan kondisi jalan yang
buruk membuat dokter sulit menjangkau desa-desa. Praktek pelayanan kesehatan
memang memerlukan orang-orang yang tulus memberikan ke-ber-manfaatan kepada
orang lain tanpa pamrih. Selain itu sistem pengawasan terhadap pelayanan
kesehatan itu sendiri juga tidak boleh diabaikan karena tanpa adanya pengawasan
maka tidak akan ada evaluasi dan monitoring. Memang harus ada suatu perubahan
untuk mencapai tahap yang jauh lebih baik sekalipun itu adalah hal yang kecil.
Waah... baarakallah, Mochie ^_^
BalasHapusTema tulisan kita sama, yaa....
Yap! Semoga cerita kita masuk dalam antologi buku kesehatan ini...